Jumat, 16 Agustus 2013

ketidaksesuaian antara ideologi PDIP dengan kebijakan privatisasi BUMN: Studi kasus privatisasi terhadap PT.Indosat,Tbk pada masa pemerintahan Megawat


KETIDAKSESUIAN ANTARA IDEOLOGI PDIP DENGAN KEBIJAKAN PRIVATISASI BUMN : STUDI KASUS PRIVATISASI TERHADAP PT.INDOSAT, Tbk PADA MASA PEMERINTAHAN MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Oleh: Hilal Hilmawan (NPM:1206298840)
Tulisan ini membahas tentang sejarah  partai demokrasi Indonesia perjuangan antara pendirian dan cita-cita ideologi dengan kenyataan dalam prakteknya pada saat Megawati menjadi Presiden Indonesia.  Dalam hal ini, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) lahir pada tanggal 10 Januari 1973 sebagai fusi dari lima partai politik[1]. Kelima partai politik tersebut diantaranya yakni Partai Nasional Indonesia, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, Partai Murba, Partai Kristen Indonesia, dan Partai Katolik. Berfusinya kelima partai politik tersebut disebabkan karena pemerintah saat itu sedang berupaya untuk memperkecil jumlah partai politik. Oleh karena itu, Agenda politik pemerintah dengan memperkecil jumlah parpol telah melahirkan partai demokrasi Indonesia (yang kemudian menjadi partai demokrasi Indonesia perjuangan).  
Komposisi partai penyusun yang terdiri dari berbagai latar belakang itu membuat PDI harus mengakomodasi berbagai perbedaan bentuk dan warna politik.secara umum dua partai politik Kristen menganut aliran keagamaan, sedangkan sisanya nasionalisme dalam variasi masing-masing. Perbedaan bentuk dan warna politik tersebut tidak dapat diakomodasi dengan baik sehingga dalam perjalanan politiknya rentetan konflik dalam struktur PDI selalu terjadi berulang-ulang. konflik yang terjadi antar aktor politik internal partai demokrasi Indonesia tidak terlepas dari masalah perebutan kekuasaan untuk menjadi ketua umum partai demokrasi Indonesia.
Salah satu konflik yang terjadi yakni pertentangan antara Mohamad Isnaeni dengan Soenawar Soekawati. Perebutan pimpinan partai demokrasi Indonesia menjadi salah satu penyebab pertentangan kedua petinggi partai demokrasi Indonesia tersebut. Selain itu pada tingkatan daerah, terjadi pertentangan perebutan pimpinan dewan perwakilan daerah. Salah satunya terjadi di Jawa Timur. sejumlah anggota DPD PDI mengajukan mosi tidak percaya terhadap kepemimpinan Drs Marsusi (ketua DPD). Demikian juga di DPD Sumatera Barat timbul juga masalah serupa terhadap DPD[2].
Lahirnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tidak dapat dilepaskan dari konflik yang terjadi di dalam tubuh Partai Demokrasi Indonesia dan menguatnya sosok Megawati Soekarno Putri di panggung politik. Dalam hal ini, konflik-konflik yang terjadi di dalam tubuh PDI yang pada akhirnya menyebabkan dualisme kepemimpinan. Terjadinya dualisme kepemimpinan ini menimbulkan berbagai friksi di lapisan bawah. Pada tanggal 19 Desember 1996 terjadi demonstrasi dimana massa pendukung Megawati mendatangi gedung DPR/MPR, Markas Besar Kepolisian hingga rumah dinas Soerjadi. Menjelang pemilu tahun1997, persaingan antara Megawati dengan Soerjadi terjadi dalam proses pengajuan caleg yang mewakili PDI.  Pada perkembangan selanjutnya serta didorong oleh tuntutan situasi dan kondisi politik nasional, maka pada tanggal 1 Februari 1999 PDI pro Mega akhirnya membentuk partai baru. Partai tersebut merupakan kelanjutan yang tidak terpisahkan dari PDI, dengan memberi nama partai menjadi PDI Perjuangan.
Artikel ini akan dimulai dengan paparan tentang transisi dari rezim otoriter yang menerapkan mobilisasi dalam pemilu ke pemerintahan yang lebih demokratis di Indonesia. Dalam peralihan rezim tersebut, PDIP menjadi pemenang dalam pemilu tahun 1999. Kemenangan PDIP dalam pemilu 1999 disebabkan karena simpati masyarakat yang tumbuh akibat tekanan pemerintah yang terus menerus menindas PDIP selain itu kejenuhan masyarakat dengan sepak terjang rezim Soeharto dan kroninya menemukan momentum dalam kepopuleran PDIP. Selanjutnya artikel ini akan memaparkan tentang  ideologi PDIP dengan kenyataannya pada saat Megawati menjadi Presiden Indonesia (studi kasus privatisasi terhadap PT.Indosat,Tbk pada masa pemerintahan Megawati).  
KEBERADAAN PDIP PADA MASA TRANSISI PEMERINTAHAN
Keberadaan partai demokrasi Indonesia perjuangan (yang saat itu masih memakai nama partai demokrasi indonesia) pada masa rezim otoriter selalu dalam kontrol dan tekanan dari pemerintah orde baru. Berdasarkan UU No. 13 Tahun 1973 tentang partai politik, pemerintah Soeharto hanya mengakui tiga partai politik yaitu PPP. PDI, dan GOLKAR[3]. Dalam hal ini,  Intervensi pemerintah melalui tangan-tangan aparat keamanan dan pejabat sospol dalam berbagai persoalan di tubuh PDI sudah berlangsung sejak lahirnya PDI. Hal ini dapat dilihat pada kasus pertama saat konflik antara Mohamad Isnaeni dengan Soenawar Soekawati tahun 1976. Kastaf Kopkamtib yakni Laksamana Sudomo ikut turun tangan melakukan pendekatan persuasif. Pada kasus yang kedua saat munculnya DPP PDI tandingan oleh Soenawar Soekawati, Letjen Yoga Sugama berperan aktif dengan mengadakan pertemuan bersama fungsionaris PDI dari unsur Parkindo dan Partai Katolik. Pada kasus yang ketiga, setelah kegagalan kongres III PDI di Jakarta, pemerintah menunjuk Soerjadi menduduki tampuk pimpinan PDI periode 1986-1993. Sama seperti berbagai kekisruhan sebelumnya, kekisruhan selalu terjadi pada perebutan jabatan di partai. Pemerintah Melalui Menteri Dalam Negeri yakni Supardjo Rustam menunjuk Soerjadi sebagai ketua umum yang didampingi sekjen Nicolaus Daryanto. Pada kasus yang keempat, saat peristiwa pada tanggal 27 Juli 1996 ketika markas besar PDI perjuangan diserbu dan dijadikan the killing field oleh orde baru dan kroninya, yaitu pembunuhan dan penyembelihan lebih dari seratus orang kader partai dalam suatu operasi yang terorganisir secara sempurna. Dengan demikian, kontrol rezim otoriter terhadap Partai demokrasi Indonesia dilakukan secara halus dan keras untuk menjaga stabilitas politik. 
Intervensi pemerintah terhadap PDI tidak membuat partai ini tunduk dan patuh kepada pemerintah orde baru. Keadaan itu justru malah membuat PDI semakin melawan dan kritis terhadap kebijakan pemerintah. Beberapa sikap dan kritik tajam terhadap pemerintah oleh Soerjadi yakni Pertama, pembatasan masa jabatan Presiden serta pemilihan Presiden dan Wapres dengan mekanisme suara terbanyak. Isu ini merupakan hal yang sangat sensitif sehingga isu tersebut langsung ditanggapi oleh pemerintah Soeharto dengan memberikan penekanan bahwa perlunya dikedepankan musyawarah mufakat dalam mengambil sebuah keputusan bersama. Kedua, sikap keras yang dilakukan Soerjadi kepada pemerintah yakni dengan mendorong kader PDI agar menolak menandatangi perolehan suara pemilu tahun 1993. Oleh Karena itu, sikap dan kritik terhadap pemerintah merupakan bentuk perlawanan dan perjuangan  PDI dalam mencapai cita-cita ideologi partai.
Pada perjalanannya, dalam internal PDI mengalami konflik yang berujung pada lahirnya PDIP dibawah pimpinan Megawati. PDIP semakin mendapatkan angin segar setelah terjadi perubahan politik dari rezim otoriter ke demokrasi pada tahun 1999. Hal ini telah membawa harapan politik bagi partai politik, khususnya partai demokrasi Indonesia perjuangan. Gerakan politik mahasiswa yang didukung elite politik dan masyarakat telah mengubah konstelasi politik Indonesia pada tahun 1999. Semua gerakan tersebut secara bersama-sama akhirnya berhasil menggulingkan pemerintahan Soeharto. Jadi, Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden pada tanggal 21 Mei 1999.
Tekanan yang dilakukan rezim otoriter terhadap PDIP tidak membuat partai ini menjadi surut. Merebaknya aksi massa serta lengsernya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1999 membuka lembaran baru bagi PDIP untuk semakin mengokohkan organisasi partai. simpati dan dukungan masyarakat khususnya lapisan bawah semakin besar. Kedekatan DPIP dengan warga masyarakat kelas bawah akhirnya merebet pada kelas menengah sehingga semakin mengokohkan citra PDIP. Pada akhirnya perjuangan politik PDIP menuai hasilnya. Partai ini secara dramatis memenangkan pemilu 1999 dengan perolehan 33,76 persen atau 36 juta pemilih. Sehingga PDIP memperoleh 153 kursi pada pemilu tahun 1999[4]. Berikut saya sajikan table 1 tentang hasil perolehan suara lima tertinggi dalam pemilu tahun 1999 sebagai berikut:
































Sumber: KPU
Berdasarkan tabel 1, menunjukkan bahwa perolehan suara PDIP menempati posisi tertinggi, selain itu selisih antara suara PDIP dengan partai-partai lainnya sangat jauh sekali. Hal ini menunjukan bahwa keberadaan PDIP pada saat itu disukai oleh masyarakat Indonesia.   
Kemenangan PDIP dalam pemilu 1999 disebabkan karena simpati masyarakat yang tumbuh akibat tekanan pemerintah yang terus menerus menindas PDIP selain itu kejenuhan masyarakat dengan sepak terjang rezim Soeharto dan kroninya menemukan momentum dalam kepopuleran PDIP. Menyikapi hasil pemilu yang menempatkan PDIP menjadi pemenang dalam pemilu kemudian partai ini menjadi demikian terbuka dan bebas untuk dimasuki siapapun tanpa harus terbatasi oleh sekat-sekat primodialisme yang sempit. Dengan kondisi demikian, PDIP merubah diri agar menjadi partai modern yang mampu mengelola organisasi dan pemilihannya dengan cara modern juga. Kemenangan PDIP pada pemilu 1999 pada akhirnya mengantarkan Megawati menjadi Wapres kemudian sampai pada akhirnya mengantarkan Megawati menjadi Presiden pada tahun 2001-2004. Menurut Alan Were bahwa partai politik adalah institusi yang membawa masyarakat bersama-sama untuk tujuan membawa kekuasaan ke dalam negara[5]. Satu hal yang pasti bahwa jika dahulu PDIP menjadi partai yang ditindas penguasa, maka PDIP saat ini merupakan bagian dari penguasa dan kekuasaan itu sendiri. Oleh karena itu, pembahasan selanjutnya dalam artikel ini yakni menganalisis kebijakan Megawati tentang Privatisasi BUMN dengan ideologi PDIP. masih sesuaikah perjuangan PDIP pada saat menjadi penguasa dengan ideologinya.
IDEOLOGI PDIP DAN PRIVATISASI PT. INDOSAT, Tbk
PDI perjuangan berazas pancasila dan bercirikan kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Selain itu nama PDI perjuangan juga mengubah logo kepala banteng dalam segilima menjadi banteng gemuk dalam lingkaran. Menurut Terence Ball Ideologi adalah seperangkat nilai yang cukup koheren dan komprehensif tentang ide-ide yang menjelaskan dan mengevaluasi kondisi sosial. Hal ini dapat membantu orang untuk memahami tempat mereka di masyarakat dan menyediakan program untuk aksi sosial dan politik. Sebuah ideologi dengan kata lain melakukan empat fungsi bagi orang-orang yang memegangnya diantaranya[6] Pertama Explanation, artinya Penjelasan ideologi menawarkan penjelasan mengapa kondisi politik dan sosial ekonomi yang seperti mereka. jika semuanya tampaknya berjalan dengan baik di masyarakat kebanyakan orang tidak akan khawatir tentang kondisi ini. ketika ada krisis namun atau perasaan bahwa hal-hal yang entah bagaimana rusak orang akan mencari terkadang panik untuk beberapa penjelasan tentang apa yang terjadi mengapa beberapa orang kaya dan miskin lainnya. mengapa hubungan antara ras yang berbeda sehingga sering tegang dan sulit; Kedua Evaluative, artinya Evaluasi selain menjelaskan mengapa cara mereka, ideologi memberitahu kita apa yang harus kita pikirkan tentang mereka. mereka melampaui penjelasan itu adalah menyediakan standar untuk mengevaluasi kondisi sosial dan mengusulkan solusi untuk meningkatkan mereka. semua perang kejahatan yang harus dihindari atau beberapa perang moral dibenarkan. lagi ideologi memasok pengikutnya dengan kriteria yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan ini dan lainnya; Ketiga Orientative, artinya bahwa orientasi ideologi memasok dudukannya dengan orientasi dan rasa identitas-siapa dia adalah di mana dia berada dan bagaimana ia berhubungan dengan seluruh dunia; dan Keempat Programmatic function, artinya bahwa ideologi akhirnya membertahu pengikutnya yang harus dilakukan dan bagaimana untuk melanjutkan. Ia melakukan fungsi program dengan menetapkan sebuah program umum dari aksi sosial dan politik. Oleh karena itu, ideologi politik PDIP diharapkan dapat melakukan empat fungsi terebut, agar dapat menghubungkan pikiran dan keyakinan kepada kader-kadernya untuk bertindak sebagaimana mestinya dengan harapan dapat menginspirasi orang untuk bertindak baik sesuai dengan ideologi politik partainya.
Untuk mengidentifikasikan partai demokrasi Indonesia perjuangan berdasarkan ideologinya, hal yang paling mudah dilakukan yakni dengan melihat dari azas yang secara formal tercantum pada AD/ART partai. Dalam hal ini, Fondasi politik partai demokrasi Indonesia perjuangan diperkokoh dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga baru yang menekankan jati diri partai secara lebih terbuka. Disebutkan juga bahwa tujuan umum partai yakni memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mendorong perdamaian dunia.  Sedangkan tujuan khususnya yakni mendapatkan kekuasaan politik secara konstitusional untuk membentuk pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial yang berdasarkan pancasila[7]. Oleh karena itu, dengan sangat jelas bahwa ideologi PDIP adalah pancasila.
Menurut Sigmund Neumann partai politik adalah organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada pengendalian kekuasaan pemerintahan dan yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat dengan beberapa kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda[8]. partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi-ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan yang mengkaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas[9]. Selain itu partai politik juga menyelenggarakan beberapa fungsi diantaranya yakni[10]; fungsi sebagai sarana komunikasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen politik, sarana pengaturan konflik dan sarana kaderisasi. Dalam hal ini, ideologi partai demokrasi Indonesia perjuangan ditanamkan kepada kader-kadernya dengan menjalankan fungsi kaderisasi politik. Pada tingkat pengurus diadakan program KDP (kursus kader pratama) dan kursus kader pemula. KDP diadakan dari tingkat pengurus pusat hingga tingkat cabang, sementara kursus kader pemula untuk pengurus ditingkat cabang dan anak cabang[11].
Ideologi dan perjuangan PDIP sebagai partainya “wong cilik” dinilai sangat mampu untuk mengambil simpati dan mampu menyatukan masyarakat, sehingga membawa PDIP memenangkan pemilu tahun 1999. Perolehan suara yang moyoritas ini mendorong para elite politik PDIP untuk mencalonkan Megawati menjadi calon presiden. Pada saat itu, Megawati yang diajukan sebagai capres oleh PDIP tidak langsung menjadi presiden. Awalnya Megawati berhasil menjadi wakil presiden pada tahun 1999, hingga pada akhirnya PDIP bisa membawa Megawati menjadi presiden pada periode 2002-2004. hal yang menarik untuk dikaji yakni menganalisis kebijakan pemerintah pada masa Megawati. Salah satu topik yang akan dibahas yakni kebijakan privatisasi terhadap PT.Indosat Tbk. Asumsi dasar saya pada Kebijakan privatisasi terhadap PT.Indosat, Tbk sangat bertolak belakang dengan ideologi PDIP. Oleh karena itu, masih sejankah antara ideologi PDIP dengan perilaku elit partai serta program-program partai demokrasi Indonesia perjuangan?
Kebijakan Privatisasi terhadap PT.Indosat Tbk tidak hanya dilakukan pada masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri, namun sudah dilakukan sejak pemerintahan orde baru, kemudian oleh pemerintahan Habibie dan Abdurrahman Wahid.  Dalam hal ini, saya akan memaparkan terlebih dahulu sejarah singkat tentang keberadaan PT.Indosat, Tbk. Perusahan ini didirikan pada tanggal 20 November tahun 1968. Kondisi infrastruktur telekomunikasi internasional yang dimiliki Indonesia waktu itu masih sangat terbatas fasilitasnya, yaitu menggunakan teknologi radio berfrekwensi tinggi[12]. Perkembangan teknologi telekomunikasi yang paling mutakhir pada waktu itu adalah teknologi satelit. Namun investasinya sangat mahal yaitu sekitar 6 juta dolar AS. Sementara keuangan Negara tidak cukup bila investasi itu tetap dilaksanakan. Padahal pemerintah orde baru yang diwakili oleh Soehardjono selaku Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi yang bertama sudah bertekad untuk memiliki infrastruktur telekomunikasi internasional berteknologi satelit itu.
Pada akhirnya pemerintah menempuh jalan menggandeng perusahaan raksasa dari Amerika Serikat yaitu Internasional Telephone and Telegraph Corporation (ITT). Karena tidak memiliki paying hokum yang mengatur tentang investasi asing (PMA) di Indonesia, maka pada tanggal 12 September 1966 pemerintah Indonesia dan ITT melakukan penandatangan MoU hanya untuk persyaratan menjadi anggota konsorsium intelsat. Baru setelah keluar UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing pada tanggal 9 Juni tahun 1967, pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menteri Perhubungan, yakni Roesmin Nurdjadin menandatangani perjanjian dengan ITT untuk membangun stasiun bumi yang dioperasikan dengan system intelsat dengan investasi sekitar 6,1 juta dolar AS.
Pada tanggal 20 November tahun 1968 sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia, perjanjian itu harus dilembagakan ke dalam suatu perusahaan perseroan terbatas (PT). maka ITT bersama dengan pemerintah Indonesia membentuk PT. Indonesian Satelite Corporation. Setelah berjalan selama kurang lebih 12 tahun, pemerintah Indonesia meninjau kembali perjanjiannya dengan ITT dan bermaksud membeli saham ITT di PT. indosat. Tepat pada tanggal 16 Desember tahun 1980 PT.Indosat 100 persen sahamnya dimiliki oleh pemerintah Indonesia.  
Program privatisasi periode I yaitu dilaksanakan pada tanggal 19 Oktober tahun 1994. Delapan tahun kemudian saat Indonesia mengalami krisis dan pasca gerakan reformasi kembali terkena program privatisasi periode II. Kemudian kebijakan ini dilanjutkan pada rencana kebijakan privatisasi tahun 2001, yaitu ketika pemerintah KH.Abdurrahman Wahid. Pelepasan saham pemerintah baru berhasil dilakukan pada masa presiden Megawati Soekarno Putri, yang terjual sebesar 8,11 persen dengan harga Rp. 12.000 persaham atau senilai Rp. 1 triliyun. Dengan penjualan tahap ke II ini saham pemerintah di Indosat masih sebesar 56, 89 persen. Pada tahap  III kebijakan privatisasi PT.Indosat mendapatkan perhatian yang akhirnya menjadi isu nasional (kontroversial). Perjanjian dilakukan antara pemerintah dengan Indonesian Comunication Limited yang akhirnya total saham yang terjual adalah sebesar 41, 94 % atau 434,25 juta saham[13]. Berikut saya sajikan table 2 tentang privatisasi terhadap PT.Indosat, Tbk dari masa Soeharto sampai dengan masa Megawati sebagai berikut:















Sumber: Dikelolah dari Hasil Pembahasan Artikel Ini.

Berdasarkan tabel 2, menunjukan bahwa metode yang dilakukan oleh pemerintah Megawati dengan menggunakan Strategic sale, sedangkan dalam peraturan teknis yaitu dalam PP No.33/2005 menetapkan tiga metode privatisasi BUMN, yaitu penjualan melalui pasar modal atau penawaran umum (Public Offering), penjualan langsung kepada investor (Strategic Sales atau Private Placement), dan penjualan kepada manajemen dan atau karyawan persero bersangkutan.
Pada masa pemerintahan Megawati, kebijakan privatisasi terhadap BUMN khususnya privatisasi PT.Indosat, Tbk disebabkan karena dampak dari krisisi moneter yang kemudian disusul dengan krisis ekonomi dan social. Privatisasi dianggap sebagai solusi untuk menyelesaikan krisis yang berkepanjangan. Dalam hal ini, program privatisasi dianggap nantinya akan bermanfaat untuk meningkatkan penanaman modal dan menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik di Indonesia, yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai dari perusahaan itu sendiri dan memperbaiki ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
Pada pelaksanaannya kebijakan privatisasi pada masa pemerintahan Megawati terindikasi telah terjadi adanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal ini terlihat pada harga jual saham indosat yang dilepas pada RP. 12.000 per lembar saham. Padahal harga jual saham tersebut bias lebih tinggi mencapai Rp. 16.000 per saham. Indikasi lainnya yakni, hasil pelepasan saham indosat senilai sekitar 627,35 juta dolar AS yang tidak langsung disetor ke kas Negara, tetapi malah ada potongan terlebih dahulu dengan biaya pembayaran konsultan, pembuatan akta senilai 19,5 juta dolar AS dan roadshom senilai 44,5 juta dolar AS. Biaya-biaya ini ternyata dibebankan pada hasil penjualan kotor[14].
Apabila dianalisis terhadap kebijakan privatisasi terhadap PT.Indosat, Tbk dengan ideologi PDIP, maka kebijakan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 dan UU No. 36 Tahun 1999 yang menekankan bahwa telekomunikasi dikatagorikan sebagai strategis, oleh karena itu dikuasi oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah. Sehingga berdampak terhadap kerugian pada Negara dan akhirnya rakyat juga yang akan merasakan dampak tersebut. kebijakan privatisasi terhadap PT.Indosat,Tbk pada masa Megawati secara otomatis juga bertentangan dengan ideologi PDIP. Oleh karena itu, ideologi dan perjuangan PDIP tidak sesuai dengan perilaku kader dan program-programnya saat partai tersebut berkuasa.
Melihat pada kasus privatisasi terhadap PT.Indosat,Tbk, menunjukan bahwa ideologi PDIP tidak mampu mempengaruhi sikap dan tindakan kader partai dalam membuat kebijakan, khususnya kebijakan privatisasi terhadap PT.Indosat, Tbk. Pada akhirnya Ideologi partai cenderung hanya dijadikan sebagai alat untuk memperoleh dukungan dari masyarakat dalam pemilu. Dalam hal ini, Kebijakan privatisasi terhadap PT.Indosat,Tbk pada akhirnya sangat merugikan negara dan masyarakat karena adanya monopoli pasar yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Dengan demikian, terjadi ketidaksesuaian antara ideologi PDIP dengan kebijakan privatisasi terhadap PT.Indosat,Tbk pada masa pemerintahan Megawati.


[1] Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia, (Jakarta: PT. Kompas media Nusantara, 2004), hal 350.
[2] Wardi, Oligarki Parpol di Indonesia:Studi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Periode 199-2004, (Tesis: Depok, 2005), hal 50.
[3] Chusnul Mar’iyah, Ketidaksetaraan Gender dan Kuota Pemilihan Untuk Keterwakilan Politik Pengalaman Indonesia dan Argentina dalam julnal Afirmasi: Representasi Politik Perempuan vol 01, hal 107.
[4] Rekapulasi KPU Tahun 1999 (www.kpu.go.id), diakses pada tanggal 12 April 2013.
[5] Alan Were, Political Parties and Parties System, (New York: Oxford University Press, 2000), hal 2.
[6] Terence Ball, Political Ideologies and The Democratic Ideal, (New York: Harper Collins Publishers, 1999),          hal 8-10.
[8] Sigmund Neumann, Modern Political Parties”, Comparative Politics:A Reader, diedit oleh Harry E. Eckstein dan David E. Apter, (London: The Free Press of Glencoe, 1963), hal 352.
[9] Maurice Duverger, Asal Mula Partai Politik dalam buku Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, (Yogyakarta:Tiara Wacana, 2012), hal 15. 
[10] Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik, dalam buku Partisipasi dan Partai Politik:Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: PT.Gramedia, 1982), hal 14-17.
[11] Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia, (Jakarta: PT. Kompas media Nusantara, 2002), hal 340
[12] Laporan Tahunan Indosat 1999, hal 78.
[13] Agus Sarwanto, Studi Politik Ekonomi Terhadap Pemerintahan Mewagato Soekarnoputri: Studi Kasus Privatisasi P.Indosat, Tbk, (Tesis: Jakarta, 2004), hal 81-85.
[14] Ishak Rafick, Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia, (Jakarta : PT.Cahaya Insan Suci, 2008), hal 369.

Senin, 12 Agustus 2013

Pengembangan Koperasi Unit Desa Sebagai Kekuatan Ekonomi Indonesia Pada Masa Orde Baru

Pengembangan Koperasi Unit Desa (KUD) Sebagai Kekuatan Ekonomi Indonesia Pada Masa Orde Baru.
Oleh:Dr.H.Suhaeli,M.SI
Ide dasar pembentukan Koperasi selau dikaitkan dengan pasal 33 UUD 1945, khususnya ayat 1 yang menyebutkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas dasar kekuluargaan. Dalam penjelasan UUD 1945 itu dikatakan bahwa bangunan usaha yang paling cocok dengan asas kekeluargaan adalah koperasi. Hal ini yang kemudian dijadikannya koperasi setara dengan BUMN dan swasta dalam perekonomian Indonesia. Pada masa orde baru Kebijakan-kebijakan untuk pengembangan koperasi didasarkan pada undang-undang koperasi no.12 tahun 1967. Selain itu berdasarkan TAP MPR nomer IV tahun 1973 yang menegaskan tentang perlunya meningkatkan kegiatan koperasi agar mampu memainkan peranan yang sesungguhnya di dalam tata ekonomi Indonesia. dalam hal ini, koperasi merupakan salah satu wadah dan wahana yang sesuai bagi pelaksanaan pembangunan nasional di bidang perekonomian, terutama dalam usaha meningkatkan kemampuan yang lebih besar bagi golongan ekonomi lemah untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Disamping itu, koperasi menjadi suatu organisasi ekonomi yang penting dalam rangka peningkatan tabungan dan produksi. Koperasi dapat merupakan alat untuk memecahkan ketidakselarasan di dalam masyarakat yaitu sebagai organisasi dari masyarakat golongan ekonomi lemah.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah yakni dengan melakukan pembinaan untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan koperasi. Pembinaan yang ditujukan kea rah organisasi dan manajemen koperasi agar lebih berdayaguna dan berhasilguna serta bimbingan dan bantuan dalam bidang pembiayaan dan permodalan. dalam hal ini, peranan lembaga jaminan kredit yang telah dibentuk tahun 1970 sangat besar dalam membantu koperasi. Hal ini terlihat dari kredit investasi dan kredit eksploitasi dari Bank Rakyat Indonesia sebesar Rp. 3 Miliyar dan dalam rangka usaha pengadaan pangan oleh KUD telah direalisir Rp.11,7 milyar. Kredit-kredit ini digunakan untuk usaha yang dalam penggunaannya ternyata telah menunjukan hal-hal yang positif. Beberapa hal yang menunjukan hal positif tersebut diantaranya yakni[1]: Pertama, usaha koperasi sesuai dengan bidang-bidang yang ditanganinya berjalan lancer dan mencapai keberhasilan, sehingga diperoleh hasil usaha yang sebagian daripadanya merupakan modal yang terbentuk, sehingga untuk usaha selanjutnya tidak perlu menggantungkan lagi atas adanya kredik; Kedua, pengambilan kredit dilakukan tepat pada waktunya kecuali dibeberapa tempat yang memang manajemennya masih perlu ditingkatkan; Ketiga, kesejahteraan anggota dapat lebih ditingkatkan dan lebih dari itu pembangunan masyarakat desa dapat juga diwujudkan.
Selanjutnya upaya pengembangan koperasi dilakukakan dengan melakukan hubungan kemitraan dengan badan-badan usaha milik swasta maupun BUMN. Keterkaitan dengan BUMN pemerintah mengeluarkan sk Menkeu No. 1232 tahun 1989 yang mewajibkan semua BUMN menyisihkan keuntungannya sebesar 1-5 % untuk pengembangan koperasi. Dengan kebijakan ini, maka koperasi mendapatkan bantuan dana yang cukup besar dari swasta maupun BUMN. Perkembangan dana swasta, melalui deviden saham, dan BUMN yang diterima koperasi dapat dilihat dalam tabel berikut ini[2];

Tabel Jumlah yang diterima Koperasi dari Pembagian Deviden Pers Swasta dan BUMN
Tahun
Deviden Pers Swasta (juta/Rp)
Dana BUMN (juta/Rp)
Jumlah KUD Penerima
SWASTA
BUMN
1990
0
22.789
318
1.286
1991
1.285
12.161.471
1.023
1.354
1992
1.666
14.100
1.387
1.234

Mengenai pendirian dan perubahan anggaran dasar dan pembubaran koperasi di tingkat nasional ini bisa dibaca dalam keputusan menteri Negara koperasi dan usaha kecil dan menengah Republik Indonesia nomor 104.1/KEP/M.KUKM/X/2002 tanggal 6 Oktober 2004 tentang petunjuk pelaksanaan pembentukan, pengesahan AKTA Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi. Lihat Harvarindo, Peraturan Pelaksanaan Perkoperasian di Indonesia (Jakarta: Hadi Setia Tunggal, 2006), hlm. 18
 Selanjutnya pemerintah orde baru mengembangkan model koperasi yang basisnya pada pemberdayaan ekonomi pedesaan. Pola kebijakan pokok yang dikembangkan yakni pembinaan kelembagaan dan pengembangan usaha koperasi. Dua hal inilah adalah kebijakan pokok departemen koperasi dalam mendorong tumbuh kembangnya koperasi. Pola kebijakan ini secara ekonomi berarti berupaya meletakkan koperasi sebagai kekuatan ekonomi yang tangguh. Fenomena yang segera Nampak dari langkah-langkah kebijakan ini adalah pemerintah segera mensponsori pembentukan KUD secara besar-besaran. Pembentukan KUD secara besar-besaran itu disertai dengan bantuan modal maupun pengelolaan komoditi untuk menghidupkan usaha ekonomi koperasi. Fungsi KUD hanya menjadi instrument distribusi dan sirkulasi besar dan komiditi pangan lainnya. Fungsi distribusi beras selama ini, kemudian diupayakan menjadi modal kerja dan unit usaha yang profit centre untuk KUD. Pada tahun 1978 jumlah KUD telah berkembang sebanyak 4.444 buah. Jumlah ini pada tahun 1992 telah berkembang lebih banyak yakni mencapai 8.799 buah. Berikut ini tabel perkembangan KDU antara tahun 1989-1993 sebagai berikut[3]:
1. Tahun 1989-1990 Perkembangan Jumlah KUD Mencapai 8.027
2. Tahun 1990-1990 Perkembangan Jumlah KUD Mencapai 8.276
3. Tahun 1991-1992 Perkembangan Jumlah KUD Mencapai 8.948
4. Tahun 1992-1993 Perkembangan Jumlah KUD Mencapai 8.799














Sumber: Diolah dari Laporan Pertanggungjawaban Menteri Koperasi Pada Kabinet Pembangunan V dalam Buku Besar, Koperasi dan Politik Orde Baru
Apabila dianalisis bahwa peran pemerintah terhadap perkembangan koperasi sangat besar. Mendorong perkembangan koperasi yang dilakukan oleh pemerintah tidak berarti pemerintah turut campur tangan dalam urusan dalam (interen) koperasi. Dalam hal ini, intervensi dari pemerintah yang terlalu besar sebagai salah satu penyebab utama lambannya perkembangan koperasi pasca jatuhnya rezim orde baru. Misalnya, sebagian besar KUD sebagai koperasi program pembangunan pertanian didukung dengan program pembangunan untuk membangun KUD. Disatu sisi, pemerintah hanya memanfaatkan KUD untuk mendukung program pertanian untuk swasembada beras, seperti yang dilakukan selama pembangunan jangka panjang pertama pada era orde baru. Hal ini menjadi ciri yang menonjol dalam politik pembangunan koperasi. Bahkan koperasi secara eksplisit ditugaskan untuk melanjutkan program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh pemerintah, bahkan bank pemerintah seperti penyaluran kredit ke petani lewar BIMAS menjadi koperasi unit tani. Pola pengadaan beras pemerintah, sampai pada penciptaan monopoli baru, sehingga nasib koperasi harus memikul beban kegagalan program. Hal ini yang membuat KUD tidak dapat mandiri sehingga membuat KUD kebingungan pasca jatuhnya orde baru.
Secara kuantitas perkembangan KUD memang berkembang tetapi secara kualitas KUD tidak berkembang. Hasil penelitian Widiyanto menunjukan bahwa jenis usaha yang sering menjadi andalan pemerintah salah satunya yakni KUD menyimpulkan bahwa tidak banyak koperasi (salah satunya KDU) yang memiliki profit keunggulan bersaing, posisi KUD cenderung pada posisi dapat bertahan menjadi lemah. Selain itu, keberadaan koperasi (salah satunya KUD) mempunyai makna ganda yakni koperasi sebagai badan usaha dan sekaligus juga sebagai jiwa dan semangat berusaha. Pada makna yang pertama dalam kerangka seperti inilah koperasi diperkenankan untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Sedangkan dalam makna yang kedua usaha yang dilakukan koperasi disusun berdasarkan atas azas kebersamaan. Makna ganda ini sangat merepotkan karena disatu sisi koperasi mesti mengejar profit sebesar-besarnya namun langka bisnis ini sering bertabrakan dengan keinginan anggotanya yakni menyejahterakan anggotanya. Oleh karena itu, perhitungan kelayakan usaha koperasi, jika hanya mengandalkan aspek likuiditas, solvabilitas dan rentabilitas usaha menjadi tidak tepat[4].

Keberadaan koperasi, BUMN, dan swasta dijadikan sebagai tiga kekuatan perekonomian Indonesia. pada kenyataannya peran swasta dan BUMN lebih mendapatkan perhatian yang besar dari pemerintah orde baru dibandingkan dengan koperasi. Hal ini terlihat dengan dikeluarkannya UU Penanaman Modal Asing kemudian disusul dengan dikeluarkannya UU Penanaman Modal Dalam Negeri[5]. Ini mencerminkan bahwa pemerintah lebih mementingkan masuknya investor asing terlebih dahulu dari pada mobilisasi dana investor dalam negeri. Melalui hubungan-hubungan khusus dengan para elit politik dalam pemerintahan, beberapa pengusaha memperoleh banyak kemudahan dalam mendirikan dan mengembangkan usaha mereka. Disatu sisi, koperasi hanya dijadikan sebagai alat oleh pemerintah untuk distribusi dari komiditi pangan. Secara politik koperasi dijadikan alat pemerintah untuk memberikan informasi program pemerintah kepada masyarakat agar masyarakat merasa diperhatikan oleh pemerintah. Koperasi tidak memiliki wewenang yang luas dalam mengembangkan usahanya. Semua program dijalan atas perintah dari pemerintah. oleh karena itu, peran koperasi yang kecil dan tidak independen apabila dibandingkan dengan swasta dan BUMN (bertentangan dengan UUD 1945)..


[1] G. Kartasapoetra, Koperasi Indonesia, (Jakarta:Rineke Cipta, 1993), hal 108.
[2] Ibid hal 161
[3] Bustanil Arifin, Beras, Koperasi, dan Politik Orde Baru, (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1995), Hal 153.
[4] Prof. Dr. Tulus T.H.Tambunan, Perekonomian Indonesia: Kajian Teoritis dan Analisis Empiris, (Bogor:Ghalia Indonesia, 2012), Hal 320.
[5] Andrinof. A Chaniago, Gagalnya Pembangunan:Membaca Ulang Keruntuhan Orde Batu, (Jakarta:LP3ES, 2012), hal 28.