KETIDAKSESUIAN ANTARA IDEOLOGI PDIP
DENGAN KEBIJAKAN PRIVATISASI BUMN : STUDI KASUS PRIVATISASI TERHADAP
PT.INDOSAT, Tbk PADA MASA PEMERINTAHAN MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Oleh: Hilal Hilmawan (NPM:1206298840)
Tulisan ini membahas tentang sejarah partai demokrasi Indonesia perjuangan antara
pendirian dan cita-cita ideologi dengan kenyataan dalam prakteknya pada saat
Megawati menjadi Presiden Indonesia. Dalam
hal ini, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) lahir pada tanggal 10 Januari 1973
sebagai fusi dari lima partai politik[1].
Kelima partai politik tersebut diantaranya yakni Partai Nasional Indonesia,
Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, Partai Murba, Partai Kristen Indonesia,
dan Partai Katolik. Berfusinya kelima partai politik tersebut disebabkan karena
pemerintah saat itu sedang berupaya untuk memperkecil jumlah partai politik. Oleh
karena itu, Agenda politik pemerintah dengan memperkecil jumlah parpol telah
melahirkan partai demokrasi Indonesia (yang kemudian menjadi partai demokrasi
Indonesia perjuangan).
Komposisi partai penyusun yang terdiri dari berbagai latar belakang itu
membuat PDI harus mengakomodasi berbagai perbedaan bentuk dan warna
politik.secara umum dua partai politik Kristen menganut aliran keagamaan,
sedangkan sisanya nasionalisme dalam variasi masing-masing. Perbedaan bentuk
dan warna politik tersebut tidak dapat diakomodasi dengan baik sehingga dalam
perjalanan politiknya rentetan konflik dalam struktur PDI selalu terjadi
berulang-ulang. konflik yang terjadi antar aktor politik internal partai
demokrasi Indonesia tidak terlepas dari masalah perebutan kekuasaan untuk
menjadi ketua umum partai demokrasi Indonesia.
Salah satu konflik yang terjadi yakni pertentangan antara Mohamad Isnaeni
dengan Soenawar Soekawati. Perebutan pimpinan partai demokrasi Indonesia
menjadi salah satu penyebab pertentangan kedua petinggi partai demokrasi
Indonesia tersebut. Selain itu pada tingkatan daerah, terjadi pertentangan
perebutan pimpinan dewan perwakilan daerah. Salah satunya terjadi di Jawa
Timur. sejumlah anggota DPD PDI mengajukan mosi tidak percaya terhadap
kepemimpinan Drs Marsusi (ketua DPD). Demikian juga di DPD Sumatera Barat
timbul juga masalah serupa terhadap DPD[2].
Lahirnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tidak dapat dilepaskan dari
konflik yang terjadi di dalam tubuh Partai Demokrasi Indonesia dan menguatnya
sosok Megawati Soekarno Putri di panggung politik. Dalam hal ini, konflik-konflik
yang terjadi di dalam tubuh PDI yang pada akhirnya menyebabkan dualisme
kepemimpinan. Terjadinya dualisme kepemimpinan ini menimbulkan berbagai friksi
di lapisan bawah. Pada tanggal 19 Desember 1996 terjadi demonstrasi dimana
massa pendukung Megawati mendatangi gedung DPR/MPR, Markas Besar Kepolisian
hingga rumah dinas Soerjadi. Menjelang pemilu tahun1997, persaingan antara
Megawati dengan Soerjadi terjadi dalam proses pengajuan caleg yang mewakili
PDI. Pada perkembangan selanjutnya serta
didorong oleh tuntutan situasi dan kondisi politik nasional, maka pada tanggal
1 Februari 1999 PDI pro Mega akhirnya membentuk partai baru. Partai tersebut
merupakan kelanjutan yang tidak terpisahkan dari PDI, dengan memberi nama
partai menjadi PDI Perjuangan.
Artikel ini akan dimulai dengan paparan tentang transisi
dari rezim otoriter yang menerapkan mobilisasi dalam pemilu ke pemerintahan
yang lebih demokratis di Indonesia. Dalam peralihan rezim tersebut, PDIP
menjadi pemenang dalam pemilu tahun 1999. Kemenangan PDIP dalam pemilu 1999
disebabkan karena simpati masyarakat yang tumbuh akibat tekanan pemerintah yang
terus menerus menindas PDIP selain itu kejenuhan masyarakat dengan sepak
terjang rezim Soeharto dan kroninya menemukan momentum dalam kepopuleran PDIP. Selanjutnya
artikel ini akan memaparkan tentang ideologi
PDIP dengan kenyataannya pada saat Megawati menjadi Presiden Indonesia (studi
kasus privatisasi terhadap PT.Indosat,Tbk pada masa pemerintahan Megawati).
KEBERADAAN PDIP PADA MASA TRANSISI PEMERINTAHAN
Keberadaan
partai demokrasi Indonesia perjuangan (yang saat itu masih memakai nama partai
demokrasi indonesia) pada masa rezim otoriter selalu dalam kontrol dan tekanan
dari pemerintah orde baru. Berdasarkan UU No. 13 Tahun 1973 tentang partai
politik, pemerintah Soeharto hanya mengakui tiga partai politik yaitu PPP. PDI,
dan GOLKAR[3].
Dalam hal ini, Intervensi pemerintah
melalui tangan-tangan aparat keamanan dan pejabat sospol dalam berbagai
persoalan di tubuh PDI sudah berlangsung sejak lahirnya PDI. Hal ini dapat
dilihat pada kasus pertama saat konflik antara Mohamad Isnaeni dengan Soenawar
Soekawati tahun 1976. Kastaf Kopkamtib yakni Laksamana Sudomo ikut turun tangan
melakukan pendekatan persuasif. Pada kasus yang kedua saat munculnya DPP PDI
tandingan oleh Soenawar Soekawati, Letjen Yoga Sugama berperan aktif dengan
mengadakan pertemuan bersama fungsionaris PDI dari unsur Parkindo dan Partai
Katolik. Pada kasus yang ketiga, setelah kegagalan kongres III PDI di Jakarta,
pemerintah menunjuk Soerjadi menduduki tampuk pimpinan PDI periode 1986-1993.
Sama seperti berbagai kekisruhan sebelumnya, kekisruhan selalu terjadi pada
perebutan jabatan di partai. Pemerintah Melalui Menteri Dalam Negeri yakni
Supardjo Rustam menunjuk Soerjadi sebagai ketua umum yang didampingi sekjen
Nicolaus Daryanto. Pada kasus yang keempat, saat peristiwa pada tanggal 27 Juli
1996 ketika markas besar PDI perjuangan diserbu dan dijadikan the killing field oleh orde baru dan
kroninya, yaitu pembunuhan dan penyembelihan lebih dari seratus orang kader
partai dalam suatu operasi yang terorganisir secara sempurna. Dengan demikian,
kontrol rezim otoriter terhadap Partai demokrasi Indonesia dilakukan secara
halus dan keras untuk menjaga stabilitas politik.
Intervensi pemerintah terhadap PDI tidak membuat partai ini tunduk dan
patuh kepada pemerintah orde baru. Keadaan itu justru malah membuat PDI semakin
melawan dan kritis terhadap kebijakan pemerintah. Beberapa sikap dan kritik
tajam terhadap pemerintah oleh Soerjadi yakni Pertama, pembatasan masa jabatan Presiden serta pemilihan Presiden
dan Wapres dengan mekanisme suara terbanyak. Isu ini merupakan hal yang sangat
sensitif sehingga isu tersebut langsung ditanggapi oleh pemerintah Soeharto
dengan memberikan penekanan bahwa perlunya dikedepankan musyawarah mufakat
dalam mengambil sebuah keputusan bersama. Kedua,
sikap keras yang dilakukan Soerjadi kepada pemerintah yakni dengan mendorong
kader PDI agar menolak menandatangi perolehan suara pemilu tahun 1993. Oleh
Karena itu, sikap dan kritik terhadap pemerintah merupakan bentuk perlawanan
dan perjuangan PDI dalam mencapai
cita-cita ideologi partai.
Pada perjalanannya, dalam internal PDI mengalami konflik yang berujung pada
lahirnya PDIP dibawah pimpinan Megawati. PDIP semakin mendapatkan angin segar
setelah terjadi perubahan politik dari rezim otoriter ke demokrasi pada tahun
1999. Hal ini telah membawa harapan politik bagi partai politik, khususnya
partai demokrasi Indonesia perjuangan. Gerakan politik mahasiswa yang didukung
elite politik dan masyarakat telah mengubah konstelasi politik Indonesia pada
tahun 1999. Semua gerakan tersebut secara bersama-sama akhirnya berhasil
menggulingkan pemerintahan Soeharto. Jadi, Soeharto mengundurkan diri sebagai
presiden pada tanggal 21 Mei 1999.
Tekanan yang dilakukan rezim otoriter terhadap PDIP tidak membuat partai
ini menjadi surut. Merebaknya aksi massa serta lengsernya Presiden Soeharto
pada tanggal 21 Mei 1999 membuka lembaran baru bagi PDIP untuk semakin
mengokohkan organisasi partai. simpati dan dukungan masyarakat khususnya
lapisan bawah semakin besar. Kedekatan DPIP dengan warga masyarakat kelas bawah
akhirnya merebet pada kelas menengah sehingga semakin mengokohkan citra PDIP. Pada
akhirnya perjuangan politik PDIP menuai hasilnya. Partai ini secara dramatis
memenangkan pemilu 1999 dengan perolehan 33,76 persen atau 36 juta pemilih.
Sehingga PDIP memperoleh 153 kursi pada pemilu tahun 1999[4].
Berikut saya sajikan table 1 tentang hasil perolehan suara lima tertinggi dalam
pemilu tahun 1999 sebagai berikut:
Sumber: KPU
Berdasarkan
tabel 1, menunjukkan bahwa perolehan suara PDIP menempati posisi tertinggi,
selain itu selisih antara suara PDIP dengan partai-partai lainnya sangat jauh
sekali. Hal ini menunjukan bahwa keberadaan PDIP pada saat itu disukai oleh
masyarakat Indonesia.
Kemenangan PDIP dalam pemilu 1999 disebabkan karena
simpati masyarakat yang tumbuh akibat tekanan pemerintah yang terus menerus
menindas PDIP selain itu kejenuhan masyarakat dengan sepak terjang rezim
Soeharto dan kroninya menemukan momentum dalam kepopuleran PDIP. Menyikapi
hasil pemilu yang menempatkan PDIP menjadi pemenang dalam pemilu kemudian
partai ini menjadi demikian terbuka dan bebas untuk dimasuki siapapun tanpa
harus terbatasi oleh sekat-sekat primodialisme yang sempit. Dengan kondisi
demikian, PDIP merubah diri agar menjadi partai modern yang mampu mengelola
organisasi dan pemilihannya dengan cara modern juga. Kemenangan PDIP pada
pemilu 1999 pada akhirnya mengantarkan Megawati menjadi Wapres kemudian sampai pada
akhirnya mengantarkan Megawati menjadi Presiden pada tahun 2001-2004. Menurut
Alan Were bahwa partai politik adalah institusi yang membawa masyarakat
bersama-sama untuk tujuan membawa kekuasaan ke dalam negara[5].
Satu hal yang pasti bahwa jika dahulu PDIP menjadi partai
yang ditindas penguasa, maka PDIP saat ini merupakan bagian dari penguasa dan
kekuasaan itu sendiri. Oleh karena itu, pembahasan selanjutnya dalam artikel
ini yakni menganalisis kebijakan Megawati tentang Privatisasi BUMN dengan ideologi
PDIP. masih sesuaikah perjuangan PDIP pada saat menjadi penguasa dengan
ideologinya.
IDEOLOGI PDIP DAN PRIVATISASI PT. INDOSAT, Tbk
PDI perjuangan berazas pancasila dan bercirikan kebangsaan, kerakyatan, dan
keadilan sosial. Selain itu nama PDI perjuangan juga mengubah logo kepala
banteng dalam segilima menjadi banteng gemuk dalam lingkaran. Menurut Terence
Ball Ideologi adalah seperangkat nilai yang cukup koheren dan komprehensif
tentang ide-ide yang menjelaskan dan mengevaluasi kondisi sosial. Hal ini dapat
membantu orang untuk memahami tempat mereka di masyarakat dan menyediakan
program untuk aksi sosial dan politik. Sebuah ideologi dengan kata lain
melakukan empat fungsi bagi orang-orang yang memegangnya diantaranya[6] Pertama Explanation, artinya Penjelasan
ideologi menawarkan penjelasan mengapa kondisi politik dan sosial ekonomi yang
seperti mereka. jika semuanya tampaknya berjalan dengan baik di masyarakat
kebanyakan orang tidak akan khawatir tentang kondisi ini. ketika ada krisis
namun atau perasaan bahwa hal-hal yang entah bagaimana rusak orang akan mencari
terkadang panik untuk beberapa penjelasan tentang apa yang terjadi mengapa
beberapa orang kaya dan miskin lainnya. mengapa hubungan antara ras yang
berbeda sehingga sering tegang dan sulit; Kedua
Evaluative, artinya Evaluasi selain
menjelaskan mengapa cara mereka, ideologi memberitahu
kita apa yang harus kita pikirkan
tentang mereka. mereka melampaui penjelasan itu adalah
menyediakan standar untuk mengevaluasi kondisi sosial dan mengusulkan solusi
untuk meningkatkan mereka. semua perang kejahatan yang harus dihindari atau
beberapa perang moral dibenarkan. lagi ideologi memasok pengikutnya dengan
kriteria yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan ini dan lainnya; Ketiga Orientative, artinya
bahwa orientasi ideologi memasok dudukannya dengan orientasi dan rasa identitas-siapa dia adalah di
mana dia berada dan bagaimana
ia berhubungan dengan seluruh dunia; dan Keempat Programmatic function, artinya
bahwa ideologi akhirnya membertahu pengikutnya yang harus dilakukan dan
bagaimana untuk melanjutkan. Ia melakukan fungsi program dengan menetapkan
sebuah program umum dari aksi sosial dan politik. Oleh karena itu, ideologi
politik PDIP diharapkan dapat melakukan empat
fungsi terebut, agar dapat menghubungkan
pikiran dan keyakinan kepada
kader-kadernya untuk bertindak sebagaimana
mestinya dengan harapan dapat menginspirasi
orang untuk bertindak baik sesuai
dengan ideologi politik partainya.
Untuk mengidentifikasikan partai demokrasi Indonesia perjuangan berdasarkan
ideologinya, hal yang paling mudah dilakukan yakni dengan melihat dari azas
yang secara formal tercantum pada AD/ART partai. Dalam hal ini, Fondasi politik
partai demokrasi Indonesia perjuangan diperkokoh dengan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga baru yang menekankan jati diri partai secara lebih
terbuka. Disebutkan juga bahwa tujuan umum partai yakni memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mendorong perdamaian dunia. Sedangkan tujuan khususnya yakni mendapatkan
kekuasaan politik secara konstitusional untuk membentuk pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial yang berdasarkan pancasila[7]. Oleh
karena itu, dengan sangat jelas bahwa ideologi PDIP adalah pancasila.
Menurut Sigmund Neumann partai politik adalah organisasi artikulatif yang
terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka
yang memusatkan perhatiannya pada pengendalian kekuasaan pemerintahan dan yang
bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat dengan beberapa kelompok lain yang
mempunyai pandangan yang berbeda-beda[8]. partai
politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan
ideologi-ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan
yang mengkaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas[9]. Selain
itu partai politik juga menyelenggarakan beberapa fungsi diantaranya yakni[10]; fungsi sebagai sarana komunikasi politik, sarana
sosialisasi politik, sarana rekrutmen politik, sarana pengaturan konflik dan
sarana kaderisasi. Dalam hal ini, ideologi partai demokrasi Indonesia
perjuangan ditanamkan kepada kader-kadernya dengan menjalankan fungsi
kaderisasi politik. Pada tingkat pengurus diadakan program KDP (kursus kader
pratama) dan kursus kader pemula. KDP diadakan dari tingkat pengurus pusat
hingga tingkat cabang, sementara kursus kader pemula untuk pengurus ditingkat
cabang dan anak cabang[11].
Ideologi dan perjuangan PDIP sebagai partainya “wong cilik” dinilai sangat
mampu untuk mengambil simpati dan mampu menyatukan masyarakat, sehingga membawa
PDIP memenangkan pemilu tahun 1999. Perolehan suara yang moyoritas ini
mendorong para elite politik PDIP untuk mencalonkan Megawati menjadi calon
presiden. Pada saat itu, Megawati yang diajukan sebagai capres oleh PDIP tidak
langsung menjadi presiden. Awalnya Megawati berhasil menjadi wakil presiden
pada tahun 1999, hingga pada akhirnya PDIP bisa membawa Megawati menjadi
presiden pada periode 2002-2004. hal yang menarik untuk dikaji yakni
menganalisis kebijakan pemerintah pada masa Megawati. Salah satu topik yang
akan dibahas yakni kebijakan privatisasi terhadap PT.Indosat Tbk. Asumsi dasar
saya pada Kebijakan privatisasi terhadap PT.Indosat, Tbk sangat bertolak
belakang dengan ideologi PDIP. Oleh karena itu, masih sejankah antara ideologi
PDIP dengan perilaku elit partai serta program-program partai demokrasi
Indonesia perjuangan?
Kebijakan Privatisasi terhadap PT.Indosat Tbk tidak hanya dilakukan pada
masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri, namun sudah dilakukan sejak
pemerintahan orde baru, kemudian oleh pemerintahan Habibie dan Abdurrahman
Wahid. Dalam hal ini, saya akan
memaparkan terlebih dahulu sejarah singkat tentang keberadaan PT.Indosat, Tbk.
Perusahan ini didirikan pada tanggal 20 November tahun 1968. Kondisi
infrastruktur telekomunikasi internasional yang dimiliki Indonesia waktu itu
masih sangat terbatas fasilitasnya, yaitu menggunakan teknologi radio
berfrekwensi tinggi[12].
Perkembangan teknologi telekomunikasi yang paling mutakhir pada waktu itu
adalah teknologi satelit. Namun investasinya sangat mahal yaitu sekitar 6 juta
dolar AS. Sementara keuangan Negara tidak cukup bila investasi itu tetap
dilaksanakan. Padahal pemerintah orde baru yang diwakili oleh Soehardjono
selaku Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi yang bertama sudah bertekad
untuk memiliki infrastruktur telekomunikasi internasional berteknologi satelit
itu.
Pada akhirnya pemerintah menempuh jalan menggandeng perusahaan raksasa dari
Amerika Serikat yaitu Internasional Telephone and Telegraph Corporation (ITT).
Karena tidak memiliki paying hokum yang mengatur tentang investasi asing (PMA)
di Indonesia, maka pada tanggal 12 September 1966 pemerintah Indonesia dan ITT
melakukan penandatangan MoU hanya untuk persyaratan menjadi anggota konsorsium
intelsat. Baru setelah keluar UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
pada tanggal 9 Juni tahun 1967, pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menteri
Perhubungan, yakni Roesmin Nurdjadin menandatangani perjanjian dengan ITT untuk
membangun stasiun bumi yang dioperasikan dengan system intelsat dengan
investasi sekitar 6,1 juta dolar AS.
Pada tanggal 20 November tahun 1968 sesuai dengan
Undang-Undang yang berlaku di Indonesia, perjanjian itu harus dilembagakan ke
dalam suatu perusahaan perseroan terbatas (PT). maka ITT bersama dengan
pemerintah Indonesia membentuk PT. Indonesian Satelite Corporation. Setelah
berjalan selama kurang lebih 12 tahun, pemerintah Indonesia meninjau kembali
perjanjiannya dengan ITT dan bermaksud membeli saham ITT di PT. indosat. Tepat
pada tanggal 16 Desember tahun 1980 PT.Indosat 100 persen sahamnya dimiliki
oleh pemerintah Indonesia.
Program privatisasi periode I yaitu dilaksanakan pada tanggal 19 Oktober
tahun 1994. Delapan tahun kemudian saat Indonesia mengalami krisis dan pasca
gerakan reformasi kembali terkena program privatisasi periode II. Kemudian
kebijakan ini dilanjutkan pada rencana kebijakan privatisasi tahun 2001, yaitu
ketika pemerintah KH.Abdurrahman Wahid. Pelepasan saham pemerintah baru berhasil
dilakukan pada masa presiden Megawati Soekarno Putri, yang terjual sebesar 8,11
persen dengan harga Rp. 12.000 persaham atau senilai Rp. 1 triliyun. Dengan
penjualan tahap ke II ini saham pemerintah di Indosat masih sebesar 56, 89
persen. Pada tahap III kebijakan
privatisasi PT.Indosat mendapatkan perhatian yang akhirnya menjadi isu nasional
(kontroversial). Perjanjian dilakukan antara pemerintah dengan Indonesian
Comunication Limited yang akhirnya total saham yang terjual adalah sebesar 41,
94 % atau 434,25 juta saham[13]. Berikut
saya sajikan table 2 tentang privatisasi terhadap PT.Indosat, Tbk dari masa Soeharto sampai
dengan masa Megawati sebagai berikut:
Sumber:
Dikelolah dari Hasil Pembahasan Artikel Ini.
Berdasarkan tabel 2, menunjukan bahwa metode yang
dilakukan oleh pemerintah Megawati dengan menggunakan Strategic sale, sedangkan
dalam peraturan teknis yaitu dalam PP No.33/2005 menetapkan tiga metode
privatisasi BUMN, yaitu penjualan melalui pasar modal atau penawaran umum
(Public Offering), penjualan langsung kepada investor (Strategic Sales atau
Private Placement), dan penjualan kepada manajemen dan atau karyawan persero
bersangkutan.
Pada masa pemerintahan Megawati, kebijakan privatisasi
terhadap BUMN khususnya privatisasi PT.Indosat, Tbk disebabkan karena dampak
dari krisisi moneter yang kemudian disusul dengan krisis ekonomi dan social.
Privatisasi dianggap sebagai solusi untuk menyelesaikan krisis yang
berkepanjangan. Dalam hal ini, program privatisasi dianggap nantinya akan
bermanfaat untuk meningkatkan penanaman modal dan menerapkan prinsip-prinsip
pengelolaan perusahaan yang baik di Indonesia, yang pada akhirnya akan
meningkatkan nilai dari perusahaan itu sendiri dan memperbaiki ekonomi
Indonesia secara keseluruhan.
Pada pelaksanaannya kebijakan privatisasi pada masa
pemerintahan Megawati terindikasi telah terjadi adanya korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN). Hal ini terlihat pada harga jual saham indosat yang dilepas
pada RP. 12.000 per lembar saham. Padahal harga jual saham tersebut bias lebih
tinggi mencapai Rp. 16.000 per saham. Indikasi lainnya yakni, hasil pelepasan
saham indosat senilai sekitar 627,35 juta dolar AS yang tidak langsung disetor
ke kas Negara, tetapi malah ada potongan terlebih dahulu dengan biaya
pembayaran konsultan, pembuatan akta senilai 19,5 juta dolar AS dan roadshom
senilai 44,5 juta dolar AS. Biaya-biaya ini ternyata dibebankan pada hasil
penjualan kotor[14].
Apabila dianalisis terhadap kebijakan privatisasi
terhadap PT.Indosat, Tbk dengan ideologi PDIP, maka kebijakan tersebut
bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 dan UU No. 36 Tahun 1999 yang menekankan
bahwa telekomunikasi dikatagorikan sebagai strategis, oleh karena itu dikuasi
oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah. Sehingga berdampak
terhadap kerugian pada Negara dan akhirnya rakyat juga yang akan merasakan
dampak tersebut. kebijakan privatisasi terhadap PT.Indosat,Tbk pada masa
Megawati secara otomatis juga bertentangan dengan ideologi PDIP. Oleh karena
itu, ideologi dan perjuangan PDIP tidak sesuai dengan perilaku kader dan
program-programnya saat partai tersebut berkuasa.
Melihat pada kasus privatisasi terhadap PT.Indosat,Tbk, menunjukan bahwa
ideologi PDIP tidak mampu mempengaruhi sikap dan tindakan kader partai dalam
membuat kebijakan, khususnya kebijakan privatisasi terhadap PT.Indosat, Tbk.
Pada akhirnya Ideologi partai cenderung hanya dijadikan
sebagai alat untuk memperoleh dukungan dari masyarakat dalam pemilu. Dalam hal
ini, Kebijakan privatisasi terhadap PT.Indosat,Tbk pada akhirnya sangat
merugikan negara dan masyarakat karena adanya monopoli pasar yang dilakukan oleh
perusahaan tersebut. Dengan demikian, terjadi ketidaksesuaian antara ideologi
PDIP dengan kebijakan privatisasi terhadap PT.Indosat,Tbk pada masa
pemerintahan Megawati.
[2]
Wardi, Oligarki Parpol di
Indonesia:Studi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Periode 199-2004,
(Tesis: Depok, 2005), hal 50.
[3]
Chusnul Mar’iyah, Ketidaksetaraan
Gender dan Kuota Pemilihan Untuk Keterwakilan Politik Pengalaman Indonesia dan
Argentina dalam julnal Afirmasi: Representasi Politik Perempuan vol 01, hal
107.
[4]
Rekapulasi KPU Tahun 1999 (www.kpu.go.id), diakses pada tanggal 12 April 2013.
[5]
Alan Were, Political Parties and Parties System,
(New York: Oxford University Press, 2000), hal 2.
[6]
Terence Ball, Political Ideologies
and The Democratic Ideal, (New York: Harper Collins Publishers, 1999), hal 8-10.
[7]
http://pdip-candipuro.blogspot.com/2009/12/anggaran-dasar-dan-anggaran-rumah.html,
diakses pada tanggal 12 April 2013.
[8]
Sigmund Neumann, Modern Political
Parties”, Comparative Politics:A Reader, diedit oleh Harry E. Eckstein dan
David E. Apter, (London: The Free Press of Glencoe, 1963), hal 352.
[9]
Maurice Duverger, Asal Mula Partai
Politik dalam buku Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, (Yogyakarta:Tiara
Wacana, 2012), hal 15.
[10] Miriam Budiardjo, Partisipasi
dan Partai Politik, dalam buku Partisipasi
dan Partai Politik:Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: PT.Gramedia, 1982), hal
14-17.
[12]
Laporan Tahunan Indosat
1999, hal 78.
[13]
Agus Sarwanto, Studi Politik Ekonomi
Terhadap Pemerintahan Mewagato Soekarnoputri: Studi Kasus Privatisasi
P.Indosat, Tbk, (Tesis: Jakarta, 2004), hal 81-85.
[14] Ishak Rafick, Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia, (Jakarta
: PT.Cahaya Insan Suci, 2008), hal 369.