Minggu, 28 Juli 2013

Pemikiran Hatta Tentang Nasionalisme dan Koperasi Dalam Pergerakan Perhimpunan Indonesia

PEMIKIRAN HATTA TENTANG NASIONALISME DAN KOPERASI DALAM PERGERAKAN PERHIMPUNAN INDONESIA (PI)
Oleh:Dr.H.Suhaeli,M.SI
A.    Pemikiran Hatta Tentang Nasionalisme dan Koperasi
Sebelum membahas sumbangsih pemikiran Hatta dalam pergerakan Perhimpunan Indonesia (PI), saya ingin memaparkan sedikit saja latar belakang kehidupan Hatta. Dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1902, Ia dikenal sebagai seorang yang pendiam dan suka belajar. Hobinya yang suka membaca membuat ia memiliki wawasan yang luas dan memiliki banyak buku diantara mahasiswa Indonesia lainnya di Negeri Belanda. Di negeri Belanda, Hatta lebih banyak menunjukan minta dalam politik dan aktif dalam kegiatan PI dibandingkan dengan belajar di universitas. Jabatannya sebagai bendahara PI (dan akhirnya menjadi ketua PI) membuatnya lebih banyak menghabiskan waktu untuk mempertajam pikiran politiknya dalam mempropagandakan gagasannya tentang nasionalisme dan koprasi (baik melului artikel, pamflet. dan pidato).
Gagasan Hatta tentang nasionalisme ialah menekankan pada pentingnya kesatuan Indonesia dan menyakinkan kepada pemuda akan peranan penting pemuda dalam mencapai suatu bangsa yang merdeka dan bersatu. Ada empat pikiran pokok dalam ideologi nasionalisme, diantaranya adalah[1]: Pertama, Kesatuan Nasional yakni perlunya mengesampingkan perbedaan khas dan bersifat kedaerahan untuk menciptakan suatu negara kebangsaan Indonesia yang bersatu dan merdeka; Kedua, Solidaritas, yakni menghidarkan perbedaan antar orang Indonesia, menyadari besarnya pertentangan kepentingan antara penjajah dan yeng terjajah dan perlunya kaum nasionalis mempertajam konflik antara ras kulit sawo matang dan ras kulit putih; Ketiga, Nonkooperasi yakni perlunya menyadari bahwa kemerdekaan tidak dapat diberikan secara Cuma-Cuma oleh Belanda tetapi harus direbut oleh bangsa Indonesia dengan mengandalkan kekuatan dan kemampuan sendiri dan karenanya tidak perlu mengindahkan dewan perwakilan yang didirikan oleh pihak kolonial seperti Volksraad; dan Keempat, Swadaya yakni menolong diri sendiri dengan mengandalkan kekuatan sendiri mengembangkan suatu alternatif struktur sosial, ekonomi, politik, dan hokum yang kuat dan berakar dalam masyarakat pribumi serta sejajar dengan pemerintah kolonial (konsep negara dalam negara). Ideologi tersebut merupakan wujud pemberontakan oleh kelompok elite pemuda Indonesia dalam melawan paternalisme Pemerintah Belanda di Indonesia. Dengan demikian, pemikiran tersebut dijadikan sebagai pedoman dalam pergerakan Perhimpunan Indonesia (PI) untuk menyatukan seluruh rakyat Indonesia.
Pada bidang ekonomi, hasil dari pemikiran Hatta ialah konsep tentang koperasi. Ide ini muncul ketika ia melihat dan mempelajari gerakan koperasi Eropah yang dianggap sebagai suatu metode organisasi ekonomi yang dapat mencegah pemerasan seseorang oleh orang lain yang sangat cocok dengan tradi pedesaan Indonesia yaitu gotong-royong. Dalam Hal ini, koperasi  juga dianggap dapat mengembangkan sikap saling berbagi serta saling membantu. Oleh karena itu, koperasi merupakan alternatif dalam membendung imperialisme dalam bidang ekonomi dan dapat membuat rakyat Indonesia menjadi bangsa yang mandiri.

B.     Pergerakan Perhimpunan Indonesia (PI)
PI merupakan suatu organisasi yang dibentuk untuk menyatukan seluruh rakyat Indonesia dalam melawan Belanda (penjajah). Keberhasilan dalam menyatukan persatuan seluruh rakyat Indonesia, tercapainya kemerdekaan dan pembentukan masa depan bangsa Indonesia terletak di tangan pemuda. Mereka yang berpendidikan di Barat dan termasuk golongan elit intelektual yang memiliki kesadaran politik, memiliki tanggung jawab untuk memimpin kebangkitan nasional. Pada bulan November 1923 muncullan suatu artikel dalam Hindia Poetra yakni menjelaskan bahwa perjuangan nasional seharusnya menjadi lebih bersemangat jika kaum intelektual muda memainkan peran penting didalam pergerakan tersebut. Dengan demikian, gerakan PI ini dipelopori oleh pemuda[2].
Gerakan ini didasarkan pada tindakan yang tidak menggunakan kekerasan dalam menjatuhkan Belanda (penjajah). Selain itu gerakan ini juga berdasarkan pada kebencian terhadap penguasa asing dan cinta terhadap rakyat Indonesia. Artinya kalo gerakan ini disatukan atas dasar cinta maka tidak boleh ada tindakan yang menghancurkan. Dalam hal ini, gerakan ini juga tidak hanya dituntut dengan cinta tapi juga dituntut untuk tetap menjaga agar tugas dalam setia tindakan dilakukan dengan penuh kesadaran. Dalam mengambil sikap Gerakan yang nonkooperatif hal ini tidak lepas dari pengaruh pengalaman gerakan yang dilakukan oleh Gandhi di India dan pengalaman gerakan Sinn Fein di Irlandia. Hatta menyakini bahwa cepat atau lambat setiap gerakan rakyat yang tertindas akan memperoleh kemerdekaannya. oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran dan persatuan untuk dapat meraih kemerdekaan dalam melawan Belanda.
C.    Kritik Terhadap Pemikiran Hatta
Menurut saya konsep nasionalisme yang digagas oleh Hatta merupakan pilar penting dalam sebuah bangsa. Hal ini disebabkan karena ketika rasa nasionalisme menguat dalam sebuah masyarakat maka akan melahirkan semangat kebangsaan yang tinggi yang membangun kekuatan yang maha dahsyat. Dalam hal ini, bangsa Indonesia sebagai wilayah yang majemuk perlu untuk menyatukan persamaan untuk cinta pada tanah air. Nasionalisme dibutuhkan untuk mencegah sentimental kedaerahan dan penyatuan kekuatan untuk melawan penjajah.nasionalisme yang digagas oleh Hatta sangat berbeda dengan konsep nasionalisme barat. Paham kebangsaan di Eropah. Di eropah paham kebangsaan merupakan peralihan masyarakat agraris menjadi industri. Dalam masa itu, maka lahirlah golongan menengah dan atasan yang memonopoli kebangsaan sedangkan nasionalisme Indonesia lahir sebagai reaksi atas kolonialisme Eropah Barat.  Dengan demikian, saya menilai bahwa pemikiran politik Hatta sangat cerdik dan cerdas. Usahanya dalam membakar semangat intelektual muda “pemuda” merupakan hal yang sangat strategis. Alasannya karena  jiwa muda masih memiliki semangat idealisme yang kuat. Pergerakan yang sangat efektif dan memiliki kekuatan yang besar jika dipelopori oleh pemuda. Hal ini terbukti sampai dengan sekarang bahwa pemuda merupakan kekuatan yang besar, misalnya peran pemuda dalam menjatuhkan rezim orde baru.
Konsep tentang koperasi yang digagas oleh Hatta, saya nilai sangat bagus. Saya melihat bahwa koperasi mampu untuk meningkatkan perdapatan “makmur” masyarakat Indonesia. Ide ini kemudian menjadi ciri khas dari Indonesia yang memiliki basis ekonomi kerakyatan. sifat dari koperasi sendiri memberikan keadilan untuk semua anggotanya dan membutuhkan kerja sama dalam mengembangkannya, hal ini sangat cocok dengan nilai gotong-royong yang melekat dalam budaya Indonesia. Dengan demikian, koperasi sangat membantu masyarakat dan mampu mengurangi kemiskinan di Indonesia.


[1] John Ingleson, Perhimpunan Indonesia dan Pergerakan Kebangsaan, (Jakarta : Grafiti, 1993), hal 16.
[2] Ibid, hal 23.

Sabtu, 27 Juli 2013

Legitimasi, Kekarasan Politik, Revolusi dan Transi ke Arah Demokrasi



Legitimasi, Kekerasan Politik, Revolusi dan Transisi ke Arah Demokrasi

Oleh:Dr.H.Suhaeli,M.SI

Proses demokratisasi berkembang dalam beberapa tahap diantaranya yakni Pertama, Dalam diskursus resmi di Washington, London, Paris, dan Brussels bahwa peningkatan demokrasi merupakan tema yang sering diangkat. Kedua, Perkembangan demokrasi terus berlanjut pada Desember 1940 Presiden Roosevelt mengusulkan untuk menjelmakan Amerika ke dalam suatu gelombang “gudang besar demokrasi”.  Selanjutnya pada  Bulan Agustus tahun 1941 Amerika berhasil membujuk Churchill untuk menerima tiga butir Piagam Atlantik yang memperjuangkan  Hak semua manusia untuk memilih bentuk pemerintahan tempat dimana mereka hidup.  Ketiga, Pada tahun 1948 berdirilah organisasi Negara-negara Amerika dan semua Negara anggota menandatangani akta puncak bogota tentang Pemeliharaan dan Pertanahan Demokrasi di Amerika. Keempat, pada Bulan Mei tahun 1949 sepuluh Negara demokratis Eropah mendirikan sebuah majelis (council of Europe) yang tidak hanya saja mengharuskan para anggotanya menegakan aturan hokum, hak-hak asasi manusia, dan kebebasan-kebebasan dasariah tetapi juga menjatuhkan skorsing bagi anggota yang melanggar aturan-aturan yang telah ditegakan. Dengan demikian, embrio berkembangnya demokrasi ke negara-negara berawal dari munculnya majelis Council of Europe[1].
Karena prinsip demokrasi menjamin kesamaan bak bagi semua orang, maka salah satu prinsip yang diagungkan ialah bahwa semua orang tanpa terkecuali mempunyai hak untuk memerintah dan bukan hak untuk diperintah. Hak untuk memerintah itu harus diperoleh secara bergilir oleh semua orang tanpa memandang kondisi ekonomi dan kemampuan intelektual seseorang dan hal itu justru merupakan perwujudan yang paling konkrit dari asas kebebasan dan kesamaan hak. Dalam hal ini, legitimasi pemimpin dapat diperoleh lewat pemilihan umum yang harus diselenggarakan secara demokratis[2]. menurut saya apabila prinsip demokrasi pada kebebasan dan persamaan hak, maka pemilihan para pejabat pemerintah tidak boleh didasarkan pada kualifikasi seseorang. Pendidikan, kecakapan, keahlian, pengalaman, kearifan dan kecerdasan tidak boleh dijadikan persyaratan bagi pemilihan pemimpin.


[1] O’Donnell, Guillermo,  Philippe C. Schimitter dan Laurence Whitehead, (eds.) terj., Transisi Menuju Demokrasi: Tinjauan Berbagai Perspektif, (Jakarta: LP3ES, 1993), hal 4-13.
[2] J.H. Rapar, Filsafat Politik Aristoteles, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), hal 89.

Jumat, 26 Juli 2013

Implementasi Sistem Pemilu Terhadap Keterwakilan Perempuan Dalam Parlemen di Negara Indonesia dan Australia



IMPLEMENTASI SISTEM PEMILU TERHADAP KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM PARLEMEN DI NEGARA INDONESIA DAN AUSTRALIA

Oleh:Dr.H.Suhaeli,M.SI

Tulisan ini membahas tentang system pemilu dan keterwakilan perempuan dalam parlemen di Indonesia dan Australia. Di Indonesia sistem pemilu dengan penetapan kuota untuk keterlibatan perempuan dalam pencalonan legislatif sudah dimulai pada pemilu tahun 2004 melalui aturan 30 persen, sedangkan di Australia sistem kuota sudah lama diterapkan oleh partai-partai politik sejak tahun 1902. Fokus dalam tulisan ini adalah membahas tentang implementasi sistem pemilu terhadap keterwakilan perempuan dalam parlemen.
Latar Belakang
Indonesia dan Australia merupakan dua negara yang sistem politiknya masih didominasi oleh budaya patriarkat (walupun perempuan di Australia telah mendapatkan hak pilih dan hak untuk mencalonkan diri sejak tahun 1902). Budaya patriarkat ini sangat menhambat terhadap perkembangan keterlibatan perempuan dalam parlemen. Saat ini, keterwakilan perempuan lebih dari 30 persen di parlemen hanya terjadi dibeberapa negara saja. Dalam hal ini, meskipun Indonesia dan Australian memiliki persamaan budaya patriarkat, akan tetapi Australia lebih cepat mengalami perubahan dalam merespon untuk melibatkan perempuan dibandingkan dengan Indonesia. Pada tahun 2004, keterwakilan kaum perempuan di parlemen Australia telah mencapai 24,7 persen di House dan 35,5 persen di senate sementara itu pada saat yang sama keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia baru mencapai 11,3 persen di dewan perwakilan rakyat dan 21 persen di dewan perwakilan daerah.
Tulisan ini bermaksud untuk memberikan gambaran komperatif tentang system pemilu dan keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia dan Australia. Pada pembahasan awal, saya akan memaparkan terlebih dahulu implementasi sistem pemilu terhadap keterwakilan perempuan di Indonesia dan Australia, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tentang perkembangan jumlah anggota parlemen perempuan di Indonesia dan Australia.
A.    Implementasi Sistem Pemilu Terhadap keterwakilan Perempuan Dalam Parlemen
Secara teori sistem pemilihan proporsional adalah sistem pemilihan umum dimana kursi yang tersedia di parlmen pusat untuk diperebutkan dalam suatu pemilihan umum, dibagikan kepada partai-partai yang turut dalam pemilihan tersebut sesuai dengan imbangan suara yang diperolehnya dalam pemilihan yang bersangkutan[1]. Pilihan terhadap sistem pemilu tertentu juga akan mempengaruhi keterwakilan kelompok minorias dan perempuan yang biasanya adalah kelompok yang kurang kurang terwakili di parlemen. Berdasarkan teorinya bahwa sistem pemilu yang akan memfasilitasi keterwakilan perempuan sedikitnya harus mencakup empat aspek keterwakilan diantaranya yakni, keterwakilan secara geografis, keterwakilan ideologis, keterwakilan partai politik dan keterwakilan deskriptif[2].
Menurut Maurice Duverger menjelaskan mengenai pengaruh sistem-sistem pemilihan secara menyeluruh[3]. Pendekatan yang digunakan oleh Duverger adalah konsep polarisasi dan Depolarisasi. Dalam hal ini, polarisasi terdapat pada sistem suara mayoritas dan merupakan hasil proses dari dua tingkat. Fase pertama dari proses ini disebut sebagai proses mekanis. Proses tersebut menghasilkan fenomena “over-representation” dan “under-representation”. Duverger mencoba menunjukan bahwa persentase jumlah kursi yang dimenangkan partai-partai mayoritas cenderung mengalami over-representation. Fase kedua meliputi apa yang disebut sebagai faktor “psikologis”. Disini pemilih melihat bahwa partai-partai keceil menghadapi prospek yang kurang menguntungkan. Karena itu, sekalipun mungkin ia lebih memihak kepada partai tersebut, tetapi ia memutuskan untuk tidak membuang atau menyia-nyiakan suaranya sehingga kemudian ia memberikan suaranya pada salah satu dari dua partai mayoritas yang bersaing. Keadaan seperti ini tentu akan memperlemah usaha pengembangan partai-partai minoritas, bahkan dapat terperangkap dalam “downward spiral”. Penggunaan sistem PR akan dapat mencegah terjadinya spiral tersebut dengan proses dua tingkat pula yang merupakan kebalikan dari polarisasi dan oleh Duverger disebut depolarisasi. Pada pemilihan tingkat pertama, dibawah sistem PR, perwakilan dari partai-partai minoritas segera meningkat. pada akhirnya suatu keseimbangan akan tercapai sehingga semua partai memiliki kesempatan yang sama untuk tetap survive.
Berdasarkan pengelaman empirik menunjukan bahwa adanya kerelasi erat antara sistem pemilu dan tingkat keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga legislatif di dunia. Laporan inter-Parliamentary Union menyebutkan adanya kecenderungan perempuan lebih besar keterwakilannya pada negara menganut sistem proporsional dari pada sistem distrik. Dalam hal ini, sistem proporsional mempunyai banyak varian yang masing-masing berpengaruh terhadap tingkat keterwakilan kaum perempuan. Dalam membahas sistem proporsional terbuka dan proporsional daftar tertutup, terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan diantaranya adalah[4]; Pertama, ada tidaknya kesadaran dan penerimaan masyarakat terhadap pentingnya peran kaum perempuan dalam politik formal. Pada umumnya masyarakat masih sulit menerima pencalonan perempuan karena ideologi patriarkat yang selama ini mereka anut. Hal ini dapat dieliminir dalam sistem proporsional. Kedua, dukungan partai politik terhadap kader-kadernya untuk duduk dalam lembaga legislatif baik dalam hal rekrutmen, kaderisasi maupun pencolonan kandidat dalam pemilu. Dukungan partai menjadi kompenen penting dalam sistem proporsional terutama karena partai amat berperan menentukan seleksi kandidat calon legislatif; dan Ketiga, perangkat hukum yang mampu menjamin keadilan bagi perempuan dalam hal keterwakilan politik. Perangkat hukum ini merupakan alat kontrol bagi pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemilu.
Sementara itu, dalam sistem proporsional tertutup yang terjadi adalah sebaliknya. Pemilih hanya memilih partai politik tanpa dapat mempengaruhi partai politik dalam memilih kandidat-kandidatnya. Partai politik dalam hal ini memiliki otoritas penuh dalam menentukan nama-nama calon legislatif. Kekebasan memilih bagi masyarakat dalam sistem proporsional terbuka tergantung pada penerimaan  terhadap peran publik perempuan. Sedangkan di dalam sistem proporsional tertutup kandidat perempuan tergantung pada kelompok elit dalam partai politik.
Indonesia
Sistem pemilu yang diterapkan di Indonesia yaitu sistem proporsional dengan berbagai varian. Paska jatuhnya rezim orde baru, Indonesia masih menggunakan sistem proporsional dengan berbagai variannya[5]. Pemilu pertama sesudah rezim obde baru pada tahun 1999 memberikan harapan bagi perempuan untuk meningkatkan keterwakilan di DPR. Upaya yang dilakukan oleh para aktifis perempuan dalam meningkatkan keterwakilan perempuan melalui tindakan afirmasi untuk mendapat kuota 30 persen. Perjuangan para aktifis perempuan tidak sia-sia karena pada pemilu tahun 2004 telah ada regulasi tentang pemilihan umum yang mengharuskan adanya minimal 30 persen perempuan anggota legislatif perempuan.. menurut saya UU No.12 tahun 2003 memiliki kelemahan  pada pasal 65 UU pemilu ini tidak menggunakan sangsi bagi pelanggar aturan ini, karenanya masih bersifat sukarela. Dengan demikian, ketidakjelasan hukum tidak dapat dijadikan alat kontrol bagi pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemilu, sehingga sangat merugikan kaum perempuan dalam keterwakilannya di lembaga legislatif.
UU No.12 tahun 2003 ini kemudian diperbarui dengan terbitya UU pemilu No. 10 tahun 2008 yang menyatakan keharusan bahwa partai politik untuk memenuhi kuota 30 persen untuk perempuan dalam pencalonan kandidat legislatif. Regulasi ini diperkuat dengan UU No. 2 Tahun 2008 tentang partai politik yang menyebutkan bahwa kuota 30 persen juga menjadi ketentuan kepengurusan partai politik[6]. UU perubahan ini terbukti sangat efektif dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di legislatif pada pemilu tahun 2009. Jumlah reprensentasi perempuan naik dari 11 persen pada tahun 2004 menjadi 18 persen pada pemilu tahun 2009[7]. Dengan demikian, dalam kasus di Indonesia, aturan hukum yang jelas dapat meningkatkan reprensentasi perempuan dalam legislatif.
Keberhasilan Implementasi sistem pemilu salah satunya harus mendapatkan dukungan dari partai politik. pada kasus di Indonesia, dalam proses penyeleksian bakal calon, hampir tidak ada sama sekali perempuan yang berhasil menduduki posisi sebagai tim yang bertugas untuk menyeleksi bakal calon. Selain itu, terdapat sistem skoring dalam proses penjaringan bakal calon. Pemberlakuan skoring ini akan menggugurkan sistem kuota bagi calon perempuan. Sistem skoring yang digunakan oleh beberapa partai politik dalam proses penjaringan bakal calon anggota memaksa masing-masing bakal calon untuk bersaing dengan menggunakan prosedur yang sama (tidak peduli perempuan atau laki-laki).  Dilain hal, Dampak dari ketidakjelasan sangsi dalam UU No.12 Tahun 2003 ialah Tidak adanya partai politik yang yang menggunakan sistem kuota untuk memdudukkan perempuan dalam posisi penting. Dengan demikian, menurut saya ketidakjelasan aturan hukum membuat partai politik tidak menghiraukan sistem kuota sehingga berdampak pada sedikitnya calon perempuan yang terjaring dalam pencalonan oleh partai politik.
Australia
Pemilu Australia pernah menggunakan tiga jenis sistem pemilu[8], yaitu First Past The Post, Preferential Voting dan Proportional Representation (single Transferable Vote). First Past The Post pernah digunakan dalam pemilu parlemen yang pertama antara tahun 1843 hingga paroh kedua abad ke-19 di New Sousth Wales dan koloni-koloni lainnya. Setelah itu, system pemilu mengalami perubahan. Perubahan tersebut didorong oleh tiga hal, yaitu kebutuhan untuk mengoreksi kelemahan system,keinginan untuk memiliki system yang lebih sempurna, dan keinginan untuk memperroleh keuntungan-keuntungan tertentu.
Plurality system adalah sistem yang paling sederhana. Sistem ini mencangkup First Past The Post dan The Block Vote. Artinya ialah bahwa pemenang adalah calon yang memperoleh suara plural meski mungkin tidak memperoleh suara mayoritas absolut. Majority Sistem adalah system yang ingin memastikan bahwa calon harus memperoleh suara absolute, misalnya system Second Ballot dan Contingent Vote. System ini juga sering disebut sebagai  Preferential Voting atau Alternative Vote atau Instant Runoff. Proportional Representation system dimaksudkan agar kursi parlemen dialokasikan pada partai-partai sesuai dengan perolehan suara.
System Preferential Voting dinilai lebih cenderung menguntungkan partai besat. System ini berkontribusi besar dalam mempertahankan dominasi partai buruh dan partai koalisi Liberal Nasional. Kadangkala seorang calon dari partai minor terkesan memiliki peluang yang baik untuk memenangkan kursi di House, tetapi setelah perhitungan suara akhirnya ia kalah. Misalnya, kasus Janine Haines (pemimpin partai Australian Democrat) yang terkesan berpeluang besar memenangkan kursi House di daerah pemilihan Kingston.pada tahun 1990. Haines memperoleh 26,4% suara preferensi pertama. Meskipun perolehan suara ini cukup besar, tetapi tetap kurang besar untuk dapat merebut kursi House. Akhirnya dalam perhitungan kedua, Haines gagal. Ia dikeluarkan dari perhitungan suara dan perolehan suaranya diberikan pada calon dari partai lain. Dengan demikian, implementasi sistem pemilu di Australia tergolong sangat rumit.                                            


[1] Bintan R.Saragih, Lembaga Perwakillan dan Pemilihan Umum di Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1987), hal 177.
[2]  Dalam Jurnal Nur Azizah, “ Sistem Pemilu, Partai Politik, dan Keterwakilan Perempuan di Indonesia”.
[3] Dr. Ichlasul Amal (ed), Teori-Teori Mutakhir:Partai Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2012), hal 75.
[4] Dalam Jurnal Nur Azizah, “ Sistem Pemilu, Partai Politik, dan Keterwakilan Perempuan di Indonesia dan Australia”.
[5] Abdul Bari Azed, “Sistem Pemilhan Umum di Indonesia” dalam Abdul Bari Azed (ed) “ Sistem-Sistem Pemilihan Umum” (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000), hal 3.
[6] Edriana Noerdin, “Representasi Politik Perempuan Adalah Sebuah Keharusan” dalam Arifmasi, “Representasi Politik Perempuan”, vol.01.
[7] Ramdansyah, Sisi Gelap Pemilu 2009, (Jakarta: Rumah Demokrasi, 2010), hal 49.
[8] Amzulian Rifai, Pemilihan Umum di Australia, (Palembang: Universitas Sriwijaya, 1998), hal 63.
[9] Dalam Jurnal Nur Azizah, “ Sistem Pemilu, Partai Politik, dan Keterwakilan Perempuan di Indonesia dan Australia”.
[10]Dalam Jurnal  Firdaus, “Sistem Pemilu Dulu dan Sekarang di Indonesia”.
[11] Aisah Putri Budiatri, “Sistem Kuota dan Zipper Sistem: Perempuan dalam Politik di Indonesia”, Vol.01, hal 17.
[12] Yulianto, Memperkuat Kemandirian Penyelenggaraan Pemilu, (Jakarta: KRHN, 2010),  hal 14.