Jumat, 26 Juli 2013

Implementasi Sistem Pemilu Terhadap Keterwakilan Perempuan Dalam Parlemen di Negara Indonesia dan Australia



IMPLEMENTASI SISTEM PEMILU TERHADAP KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM PARLEMEN DI NEGARA INDONESIA DAN AUSTRALIA

Oleh:Dr.H.Suhaeli,M.SI

Tulisan ini membahas tentang system pemilu dan keterwakilan perempuan dalam parlemen di Indonesia dan Australia. Di Indonesia sistem pemilu dengan penetapan kuota untuk keterlibatan perempuan dalam pencalonan legislatif sudah dimulai pada pemilu tahun 2004 melalui aturan 30 persen, sedangkan di Australia sistem kuota sudah lama diterapkan oleh partai-partai politik sejak tahun 1902. Fokus dalam tulisan ini adalah membahas tentang implementasi sistem pemilu terhadap keterwakilan perempuan dalam parlemen.
Latar Belakang
Indonesia dan Australia merupakan dua negara yang sistem politiknya masih didominasi oleh budaya patriarkat (walupun perempuan di Australia telah mendapatkan hak pilih dan hak untuk mencalonkan diri sejak tahun 1902). Budaya patriarkat ini sangat menhambat terhadap perkembangan keterlibatan perempuan dalam parlemen. Saat ini, keterwakilan perempuan lebih dari 30 persen di parlemen hanya terjadi dibeberapa negara saja. Dalam hal ini, meskipun Indonesia dan Australian memiliki persamaan budaya patriarkat, akan tetapi Australia lebih cepat mengalami perubahan dalam merespon untuk melibatkan perempuan dibandingkan dengan Indonesia. Pada tahun 2004, keterwakilan kaum perempuan di parlemen Australia telah mencapai 24,7 persen di House dan 35,5 persen di senate sementara itu pada saat yang sama keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia baru mencapai 11,3 persen di dewan perwakilan rakyat dan 21 persen di dewan perwakilan daerah.
Tulisan ini bermaksud untuk memberikan gambaran komperatif tentang system pemilu dan keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia dan Australia. Pada pembahasan awal, saya akan memaparkan terlebih dahulu implementasi sistem pemilu terhadap keterwakilan perempuan di Indonesia dan Australia, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tentang perkembangan jumlah anggota parlemen perempuan di Indonesia dan Australia.
A.    Implementasi Sistem Pemilu Terhadap keterwakilan Perempuan Dalam Parlemen
Secara teori sistem pemilihan proporsional adalah sistem pemilihan umum dimana kursi yang tersedia di parlmen pusat untuk diperebutkan dalam suatu pemilihan umum, dibagikan kepada partai-partai yang turut dalam pemilihan tersebut sesuai dengan imbangan suara yang diperolehnya dalam pemilihan yang bersangkutan[1]. Pilihan terhadap sistem pemilu tertentu juga akan mempengaruhi keterwakilan kelompok minorias dan perempuan yang biasanya adalah kelompok yang kurang kurang terwakili di parlemen. Berdasarkan teorinya bahwa sistem pemilu yang akan memfasilitasi keterwakilan perempuan sedikitnya harus mencakup empat aspek keterwakilan diantaranya yakni, keterwakilan secara geografis, keterwakilan ideologis, keterwakilan partai politik dan keterwakilan deskriptif[2].
Menurut Maurice Duverger menjelaskan mengenai pengaruh sistem-sistem pemilihan secara menyeluruh[3]. Pendekatan yang digunakan oleh Duverger adalah konsep polarisasi dan Depolarisasi. Dalam hal ini, polarisasi terdapat pada sistem suara mayoritas dan merupakan hasil proses dari dua tingkat. Fase pertama dari proses ini disebut sebagai proses mekanis. Proses tersebut menghasilkan fenomena “over-representation” dan “under-representation”. Duverger mencoba menunjukan bahwa persentase jumlah kursi yang dimenangkan partai-partai mayoritas cenderung mengalami over-representation. Fase kedua meliputi apa yang disebut sebagai faktor “psikologis”. Disini pemilih melihat bahwa partai-partai keceil menghadapi prospek yang kurang menguntungkan. Karena itu, sekalipun mungkin ia lebih memihak kepada partai tersebut, tetapi ia memutuskan untuk tidak membuang atau menyia-nyiakan suaranya sehingga kemudian ia memberikan suaranya pada salah satu dari dua partai mayoritas yang bersaing. Keadaan seperti ini tentu akan memperlemah usaha pengembangan partai-partai minoritas, bahkan dapat terperangkap dalam “downward spiral”. Penggunaan sistem PR akan dapat mencegah terjadinya spiral tersebut dengan proses dua tingkat pula yang merupakan kebalikan dari polarisasi dan oleh Duverger disebut depolarisasi. Pada pemilihan tingkat pertama, dibawah sistem PR, perwakilan dari partai-partai minoritas segera meningkat. pada akhirnya suatu keseimbangan akan tercapai sehingga semua partai memiliki kesempatan yang sama untuk tetap survive.
Berdasarkan pengelaman empirik menunjukan bahwa adanya kerelasi erat antara sistem pemilu dan tingkat keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga legislatif di dunia. Laporan inter-Parliamentary Union menyebutkan adanya kecenderungan perempuan lebih besar keterwakilannya pada negara menganut sistem proporsional dari pada sistem distrik. Dalam hal ini, sistem proporsional mempunyai banyak varian yang masing-masing berpengaruh terhadap tingkat keterwakilan kaum perempuan. Dalam membahas sistem proporsional terbuka dan proporsional daftar tertutup, terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan diantaranya adalah[4]; Pertama, ada tidaknya kesadaran dan penerimaan masyarakat terhadap pentingnya peran kaum perempuan dalam politik formal. Pada umumnya masyarakat masih sulit menerima pencalonan perempuan karena ideologi patriarkat yang selama ini mereka anut. Hal ini dapat dieliminir dalam sistem proporsional. Kedua, dukungan partai politik terhadap kader-kadernya untuk duduk dalam lembaga legislatif baik dalam hal rekrutmen, kaderisasi maupun pencolonan kandidat dalam pemilu. Dukungan partai menjadi kompenen penting dalam sistem proporsional terutama karena partai amat berperan menentukan seleksi kandidat calon legislatif; dan Ketiga, perangkat hukum yang mampu menjamin keadilan bagi perempuan dalam hal keterwakilan politik. Perangkat hukum ini merupakan alat kontrol bagi pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemilu.
Sementara itu, dalam sistem proporsional tertutup yang terjadi adalah sebaliknya. Pemilih hanya memilih partai politik tanpa dapat mempengaruhi partai politik dalam memilih kandidat-kandidatnya. Partai politik dalam hal ini memiliki otoritas penuh dalam menentukan nama-nama calon legislatif. Kekebasan memilih bagi masyarakat dalam sistem proporsional terbuka tergantung pada penerimaan  terhadap peran publik perempuan. Sedangkan di dalam sistem proporsional tertutup kandidat perempuan tergantung pada kelompok elit dalam partai politik.
Indonesia
Sistem pemilu yang diterapkan di Indonesia yaitu sistem proporsional dengan berbagai varian. Paska jatuhnya rezim orde baru, Indonesia masih menggunakan sistem proporsional dengan berbagai variannya[5]. Pemilu pertama sesudah rezim obde baru pada tahun 1999 memberikan harapan bagi perempuan untuk meningkatkan keterwakilan di DPR. Upaya yang dilakukan oleh para aktifis perempuan dalam meningkatkan keterwakilan perempuan melalui tindakan afirmasi untuk mendapat kuota 30 persen. Perjuangan para aktifis perempuan tidak sia-sia karena pada pemilu tahun 2004 telah ada regulasi tentang pemilihan umum yang mengharuskan adanya minimal 30 persen perempuan anggota legislatif perempuan.. menurut saya UU No.12 tahun 2003 memiliki kelemahan  pada pasal 65 UU pemilu ini tidak menggunakan sangsi bagi pelanggar aturan ini, karenanya masih bersifat sukarela. Dengan demikian, ketidakjelasan hukum tidak dapat dijadikan alat kontrol bagi pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemilu, sehingga sangat merugikan kaum perempuan dalam keterwakilannya di lembaga legislatif.
UU No.12 tahun 2003 ini kemudian diperbarui dengan terbitya UU pemilu No. 10 tahun 2008 yang menyatakan keharusan bahwa partai politik untuk memenuhi kuota 30 persen untuk perempuan dalam pencalonan kandidat legislatif. Regulasi ini diperkuat dengan UU No. 2 Tahun 2008 tentang partai politik yang menyebutkan bahwa kuota 30 persen juga menjadi ketentuan kepengurusan partai politik[6]. UU perubahan ini terbukti sangat efektif dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di legislatif pada pemilu tahun 2009. Jumlah reprensentasi perempuan naik dari 11 persen pada tahun 2004 menjadi 18 persen pada pemilu tahun 2009[7]. Dengan demikian, dalam kasus di Indonesia, aturan hukum yang jelas dapat meningkatkan reprensentasi perempuan dalam legislatif.
Keberhasilan Implementasi sistem pemilu salah satunya harus mendapatkan dukungan dari partai politik. pada kasus di Indonesia, dalam proses penyeleksian bakal calon, hampir tidak ada sama sekali perempuan yang berhasil menduduki posisi sebagai tim yang bertugas untuk menyeleksi bakal calon. Selain itu, terdapat sistem skoring dalam proses penjaringan bakal calon. Pemberlakuan skoring ini akan menggugurkan sistem kuota bagi calon perempuan. Sistem skoring yang digunakan oleh beberapa partai politik dalam proses penjaringan bakal calon anggota memaksa masing-masing bakal calon untuk bersaing dengan menggunakan prosedur yang sama (tidak peduli perempuan atau laki-laki).  Dilain hal, Dampak dari ketidakjelasan sangsi dalam UU No.12 Tahun 2003 ialah Tidak adanya partai politik yang yang menggunakan sistem kuota untuk memdudukkan perempuan dalam posisi penting. Dengan demikian, menurut saya ketidakjelasan aturan hukum membuat partai politik tidak menghiraukan sistem kuota sehingga berdampak pada sedikitnya calon perempuan yang terjaring dalam pencalonan oleh partai politik.
Australia
Pemilu Australia pernah menggunakan tiga jenis sistem pemilu[8], yaitu First Past The Post, Preferential Voting dan Proportional Representation (single Transferable Vote). First Past The Post pernah digunakan dalam pemilu parlemen yang pertama antara tahun 1843 hingga paroh kedua abad ke-19 di New Sousth Wales dan koloni-koloni lainnya. Setelah itu, system pemilu mengalami perubahan. Perubahan tersebut didorong oleh tiga hal, yaitu kebutuhan untuk mengoreksi kelemahan system,keinginan untuk memiliki system yang lebih sempurna, dan keinginan untuk memperroleh keuntungan-keuntungan tertentu.
Plurality system adalah sistem yang paling sederhana. Sistem ini mencangkup First Past The Post dan The Block Vote. Artinya ialah bahwa pemenang adalah calon yang memperoleh suara plural meski mungkin tidak memperoleh suara mayoritas absolut. Majority Sistem adalah system yang ingin memastikan bahwa calon harus memperoleh suara absolute, misalnya system Second Ballot dan Contingent Vote. System ini juga sering disebut sebagai  Preferential Voting atau Alternative Vote atau Instant Runoff. Proportional Representation system dimaksudkan agar kursi parlemen dialokasikan pada partai-partai sesuai dengan perolehan suara.
System Preferential Voting dinilai lebih cenderung menguntungkan partai besat. System ini berkontribusi besar dalam mempertahankan dominasi partai buruh dan partai koalisi Liberal Nasional. Kadangkala seorang calon dari partai minor terkesan memiliki peluang yang baik untuk memenangkan kursi di House, tetapi setelah perhitungan suara akhirnya ia kalah. Misalnya, kasus Janine Haines (pemimpin partai Australian Democrat) yang terkesan berpeluang besar memenangkan kursi House di daerah pemilihan Kingston.pada tahun 1990. Haines memperoleh 26,4% suara preferensi pertama. Meskipun perolehan suara ini cukup besar, tetapi tetap kurang besar untuk dapat merebut kursi House. Akhirnya dalam perhitungan kedua, Haines gagal. Ia dikeluarkan dari perhitungan suara dan perolehan suaranya diberikan pada calon dari partai lain. Dengan demikian, implementasi sistem pemilu di Australia tergolong sangat rumit.                                            


[1] Bintan R.Saragih, Lembaga Perwakillan dan Pemilihan Umum di Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1987), hal 177.
[2]  Dalam Jurnal Nur Azizah, “ Sistem Pemilu, Partai Politik, dan Keterwakilan Perempuan di Indonesia”.
[3] Dr. Ichlasul Amal (ed), Teori-Teori Mutakhir:Partai Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2012), hal 75.
[4] Dalam Jurnal Nur Azizah, “ Sistem Pemilu, Partai Politik, dan Keterwakilan Perempuan di Indonesia dan Australia”.
[5] Abdul Bari Azed, “Sistem Pemilhan Umum di Indonesia” dalam Abdul Bari Azed (ed) “ Sistem-Sistem Pemilihan Umum” (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000), hal 3.
[6] Edriana Noerdin, “Representasi Politik Perempuan Adalah Sebuah Keharusan” dalam Arifmasi, “Representasi Politik Perempuan”, vol.01.
[7] Ramdansyah, Sisi Gelap Pemilu 2009, (Jakarta: Rumah Demokrasi, 2010), hal 49.
[8] Amzulian Rifai, Pemilihan Umum di Australia, (Palembang: Universitas Sriwijaya, 1998), hal 63.
[9] Dalam Jurnal Nur Azizah, “ Sistem Pemilu, Partai Politik, dan Keterwakilan Perempuan di Indonesia dan Australia”.
[10]Dalam Jurnal  Firdaus, “Sistem Pemilu Dulu dan Sekarang di Indonesia”.
[11] Aisah Putri Budiatri, “Sistem Kuota dan Zipper Sistem: Perempuan dalam Politik di Indonesia”, Vol.01, hal 17.
[12] Yulianto, Memperkuat Kemandirian Penyelenggaraan Pemilu, (Jakarta: KRHN, 2010),  hal 14.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar