IMPLEMENTASI SISTEM PEMILU TERHADAP
KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM PARLEMEN DI NEGARA INDONESIA DAN AUSTRALIA
Oleh:Dr.H.Suhaeli,M.SI
Tulisan ini membahas tentang system
pemilu dan keterwakilan perempuan dalam parlemen di Indonesia dan Australia. Di
Indonesia sistem pemilu dengan penetapan kuota untuk keterlibatan perempuan
dalam pencalonan legislatif sudah dimulai pada pemilu tahun 2004 melalui aturan
30 persen, sedangkan di Australia sistem kuota sudah lama diterapkan oleh
partai-partai politik sejak tahun 1902. Fokus dalam tulisan ini adalah membahas
tentang implementasi sistem pemilu terhadap keterwakilan perempuan dalam
parlemen.
Latar
Belakang
Indonesia dan Australia
merupakan dua negara yang sistem politiknya masih didominasi oleh budaya
patriarkat (walupun perempuan di Australia telah mendapatkan hak pilih dan hak
untuk mencalonkan diri sejak tahun 1902). Budaya patriarkat ini sangat
menhambat terhadap perkembangan keterlibatan perempuan dalam parlemen. Saat
ini, keterwakilan perempuan lebih dari 30 persen di parlemen hanya terjadi
dibeberapa negara saja. Dalam hal ini, meskipun Indonesia dan Australian
memiliki persamaan budaya patriarkat, akan tetapi Australia lebih cepat
mengalami perubahan dalam merespon untuk melibatkan perempuan dibandingkan
dengan Indonesia. Pada tahun 2004, keterwakilan kaum perempuan di parlemen
Australia telah mencapai 24,7 persen di House dan 35,5 persen di senate
sementara itu pada saat yang sama keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia
baru mencapai 11,3 persen di dewan perwakilan rakyat dan 21 persen di dewan
perwakilan daerah.
Tulisan
ini bermaksud untuk memberikan gambaran komperatif tentang system pemilu dan
keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia dan Australia. Pada pembahasan
awal, saya akan memaparkan terlebih dahulu implementasi sistem pemilu terhadap
keterwakilan perempuan di Indonesia dan Australia, kemudian dilanjutkan dengan
pembahasan tentang perkembangan jumlah anggota parlemen perempuan di Indonesia
dan Australia.
A. Implementasi Sistem Pemilu Terhadap
keterwakilan Perempuan Dalam Parlemen
Secara teori sistem
pemilihan proporsional adalah sistem pemilihan umum dimana kursi yang tersedia
di parlmen pusat untuk diperebutkan dalam suatu pemilihan umum, dibagikan
kepada partai-partai yang turut dalam pemilihan tersebut sesuai dengan imbangan
suara yang diperolehnya dalam pemilihan yang bersangkutan[1]. Pilihan
terhadap sistem pemilu tertentu juga akan mempengaruhi keterwakilan kelompok
minorias dan perempuan yang biasanya adalah kelompok yang kurang kurang
terwakili di parlemen. Berdasarkan teorinya bahwa sistem pemilu yang akan
memfasilitasi keterwakilan perempuan sedikitnya harus mencakup empat aspek
keterwakilan diantaranya yakni, keterwakilan secara geografis, keterwakilan
ideologis, keterwakilan partai politik dan keterwakilan deskriptif[2].
Menurut Maurice
Duverger menjelaskan mengenai pengaruh sistem-sistem pemilihan secara
menyeluruh[3].
Pendekatan yang digunakan oleh Duverger adalah konsep polarisasi dan
Depolarisasi. Dalam hal ini, polarisasi terdapat pada sistem suara mayoritas
dan merupakan hasil proses dari dua tingkat. Fase pertama dari proses ini
disebut sebagai proses mekanis. Proses tersebut menghasilkan fenomena “over-representation” dan “under-representation”. Duverger mencoba
menunjukan bahwa persentase jumlah kursi yang dimenangkan partai-partai
mayoritas cenderung mengalami over-representation. Fase kedua meliputi apa
yang disebut sebagai faktor “psikologis”. Disini pemilih melihat bahwa
partai-partai keceil menghadapi prospek yang kurang menguntungkan. Karena itu,
sekalipun mungkin ia lebih memihak kepada partai tersebut, tetapi ia memutuskan
untuk tidak membuang atau menyia-nyiakan suaranya sehingga kemudian ia
memberikan suaranya pada salah satu dari dua partai mayoritas yang bersaing.
Keadaan seperti ini tentu akan memperlemah usaha pengembangan partai-partai
minoritas, bahkan dapat terperangkap dalam
“downward spiral”. Penggunaan sistem PR akan dapat mencegah terjadinya
spiral tersebut dengan proses dua tingkat pula yang merupakan kebalikan dari
polarisasi dan oleh Duverger disebut depolarisasi. Pada pemilihan tingkat
pertama, dibawah sistem PR, perwakilan dari partai-partai minoritas segera
meningkat. pada akhirnya suatu keseimbangan akan tercapai sehingga semua partai
memiliki kesempatan yang sama untuk tetap survive.
Berdasarkan pengelaman empirik
menunjukan bahwa adanya kerelasi erat antara sistem pemilu dan tingkat
keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga legislatif di dunia. Laporan
inter-Parliamentary Union menyebutkan adanya kecenderungan perempuan lebih
besar keterwakilannya pada negara menganut sistem proporsional dari pada sistem
distrik. Dalam hal ini, sistem proporsional mempunyai banyak varian yang
masing-masing berpengaruh terhadap tingkat keterwakilan kaum perempuan. Dalam
membahas sistem proporsional terbuka dan proporsional daftar tertutup, terdapat
beberapa hal yang harus dipertimbangkan diantaranya adalah[4]; Pertama, ada tidaknya kesadaran dan
penerimaan masyarakat terhadap pentingnya peran kaum perempuan dalam politik
formal. Pada umumnya masyarakat masih sulit menerima pencalonan perempuan
karena ideologi patriarkat yang selama ini mereka anut. Hal ini dapat
dieliminir dalam sistem proporsional. Kedua,
dukungan partai politik terhadap kader-kadernya untuk duduk dalam lembaga
legislatif baik dalam hal rekrutmen, kaderisasi maupun pencolonan kandidat
dalam pemilu. Dukungan partai menjadi kompenen penting dalam sistem
proporsional terutama karena partai amat berperan menentukan seleksi kandidat
calon legislatif; dan Ketiga,
perangkat hukum yang mampu menjamin keadilan bagi perempuan dalam hal
keterwakilan politik. Perangkat hukum ini merupakan alat kontrol bagi
pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemilu.
Sementara
itu, dalam sistem proporsional tertutup yang terjadi adalah sebaliknya. Pemilih
hanya memilih partai politik tanpa dapat mempengaruhi partai politik dalam
memilih kandidat-kandidatnya. Partai politik dalam hal ini memiliki otoritas
penuh dalam menentukan nama-nama calon legislatif. Kekebasan memilih bagi
masyarakat dalam sistem proporsional terbuka tergantung pada penerimaan terhadap peran publik perempuan. Sedangkan di
dalam sistem proporsional tertutup kandidat perempuan tergantung pada kelompok
elit dalam partai politik.
Indonesia
Sistem pemilu yang
diterapkan di Indonesia yaitu sistem proporsional dengan berbagai varian. Paska
jatuhnya rezim orde baru, Indonesia masih menggunakan sistem proporsional
dengan berbagai variannya[5]. Pemilu
pertama sesudah rezim obde baru pada tahun 1999 memberikan harapan bagi
perempuan untuk meningkatkan keterwakilan di DPR. Upaya yang dilakukan oleh
para aktifis perempuan dalam meningkatkan keterwakilan perempuan melalui
tindakan afirmasi untuk mendapat kuota 30 persen. Perjuangan para aktifis
perempuan tidak sia-sia karena pada pemilu tahun 2004 telah ada regulasi
tentang pemilihan umum yang mengharuskan adanya minimal 30 persen perempuan
anggota legislatif perempuan.. menurut saya UU No.12 tahun 2003 memiliki
kelemahan pada pasal 65 UU pemilu ini
tidak menggunakan sangsi bagi pelanggar aturan ini, karenanya masih bersifat
sukarela. Dengan demikian, ketidakjelasan hukum tidak dapat dijadikan alat
kontrol bagi pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemilu, sehingga sangat
merugikan kaum perempuan dalam keterwakilannya di lembaga legislatif.
UU No.12 tahun 2003 ini
kemudian diperbarui dengan terbitya UU pemilu No. 10 tahun 2008 yang menyatakan
keharusan bahwa partai politik untuk memenuhi kuota 30 persen untuk perempuan
dalam pencalonan kandidat legislatif. Regulasi ini diperkuat dengan UU No. 2
Tahun 2008 tentang partai politik yang menyebutkan bahwa kuota 30 persen juga
menjadi ketentuan kepengurusan partai politik[6].
UU perubahan ini terbukti sangat efektif dalam meningkatkan keterwakilan
perempuan di legislatif pada pemilu tahun 2009. Jumlah reprensentasi perempuan
naik dari 11 persen pada tahun 2004 menjadi 18 persen pada pemilu tahun 2009[7].
Dengan demikian, dalam kasus di Indonesia, aturan hukum yang jelas dapat
meningkatkan reprensentasi perempuan dalam legislatif.
Keberhasilan
Implementasi sistem pemilu salah satunya harus mendapatkan dukungan dari partai
politik. pada kasus di Indonesia, dalam proses penyeleksian bakal calon, hampir
tidak ada sama sekali perempuan yang berhasil menduduki posisi sebagai tim yang
bertugas untuk menyeleksi bakal calon. Selain itu, terdapat sistem skoring
dalam proses penjaringan bakal calon. Pemberlakuan skoring ini akan
menggugurkan sistem kuota bagi calon perempuan. Sistem skoring yang digunakan
oleh beberapa partai politik dalam proses penjaringan bakal calon anggota
memaksa masing-masing bakal calon untuk bersaing dengan menggunakan prosedur
yang sama (tidak peduli perempuan atau laki-laki). Dilain hal, Dampak dari ketidakjelasan sangsi
dalam UU No.12 Tahun 2003 ialah Tidak adanya partai politik yang yang
menggunakan sistem kuota untuk memdudukkan perempuan dalam posisi penting.
Dengan demikian, menurut saya ketidakjelasan aturan hukum membuat partai
politik tidak menghiraukan sistem kuota sehingga berdampak pada sedikitnya
calon perempuan yang terjaring dalam pencalonan oleh partai politik.
Australia
Pemilu Australia pernah
menggunakan tiga jenis sistem pemilu[8],
yaitu First Past The Post, Preferential
Voting dan Proportional
Representation (single Transferable Vote). First Past The Post pernah
digunakan dalam pemilu parlemen yang pertama antara tahun 1843 hingga paroh
kedua abad ke-19 di New Sousth Wales dan koloni-koloni lainnya. Setelah itu,
system pemilu mengalami perubahan. Perubahan tersebut didorong oleh tiga hal,
yaitu kebutuhan untuk mengoreksi kelemahan system,keinginan untuk memiliki
system yang lebih sempurna, dan keinginan untuk memperroleh
keuntungan-keuntungan tertentu.
Plurality
system adalah sistem yang paling sederhana. Sistem ini
mencangkup First Past The Post dan The Block Vote. Artinya ialah bahwa pemenang
adalah calon yang memperoleh suara plural meski mungkin tidak memperoleh suara
mayoritas absolut. Majority Sistem
adalah system yang ingin memastikan bahwa calon harus memperoleh suara
absolute, misalnya system Second Ballot dan
Contingent Vote. System ini juga
sering disebut sebagai Preferential Voting atau Alternative Vote atau Instant Runoff. Proportional Representation system dimaksudkan agar kursi parlemen
dialokasikan pada partai-partai sesuai dengan perolehan suara.
System Preferential Voting
dinilai lebih cenderung menguntungkan partai besat. System ini berkontribusi
besar dalam mempertahankan dominasi partai buruh dan partai koalisi Liberal
Nasional. Kadangkala seorang calon dari partai minor terkesan memiliki peluang
yang baik untuk memenangkan kursi di House, tetapi setelah perhitungan suara
akhirnya ia kalah. Misalnya, kasus Janine Haines (pemimpin partai Australian
Democrat) yang terkesan berpeluang besar memenangkan kursi House di daerah
pemilihan Kingston.pada tahun 1990. Haines memperoleh 26,4% suara preferensi
pertama. Meskipun perolehan suara ini cukup besar, tetapi tetap kurang besar
untuk dapat merebut kursi House. Akhirnya dalam perhitungan kedua, Haines
gagal. Ia dikeluarkan dari perhitungan suara dan perolehan suaranya diberikan
pada calon dari partai lain. Dengan demikian, implementasi sistem pemilu di
Australia tergolong sangat rumit.
[1]
Bintan R.Saragih, Lembaga Perwakillan dan Pemilihan Umum di
Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1987), hal 177.
[2]
Dalam Jurnal Nur Azizah, “ Sistem Pemilu, Partai Politik, dan
Keterwakilan Perempuan di Indonesia”.
[3]
Dr. Ichlasul Amal (ed), Teori-Teori Mutakhir:Partai Politik,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2012), hal 75.
[4]
Dalam Jurnal Nur Azizah, “ Sistem Pemilu, Partai Politik, dan
Keterwakilan Perempuan di Indonesia dan Australia”.
[5]
Abdul Bari Azed, “Sistem Pemilhan Umum di Indonesia” dalam
Abdul Bari Azed (ed) “ Sistem-Sistem Pemilihan Umum” (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000), hal 3.
[6]
Edriana Noerdin, “Representasi Politik Perempuan Adalah Sebuah
Keharusan” dalam Arifmasi, “Representasi Politik Perempuan”, vol.01.
[7] Ramdansyah, Sisi Gelap Pemilu 2009, (Jakarta: Rumah Demokrasi, 2010), hal 49.
[8]
Amzulian Rifai, Pemilihan Umum di Australia, (Palembang:
Universitas Sriwijaya, 1998), hal 63.
[9]
Dalam Jurnal Nur Azizah, “ Sistem Pemilu, Partai Politik, dan
Keterwakilan Perempuan di Indonesia dan Australia”.
[10]Dalam Jurnal Firdaus, “Sistem
Pemilu Dulu dan Sekarang di Indonesia”.
[11]
Aisah Putri Budiatri, “Sistem Kuota dan Zipper Sistem: Perempuan
dalam Politik di Indonesia”, Vol.01, hal 17.
[12]
Yulianto, Memperkuat Kemandirian Penyelenggaraan
Pemilu, (Jakarta: KRHN, 2010), hal
14.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar