Upaya
Pemerintah Dalam Menangani Kasus Semburan Lumpur PT Lapindo Brantas Inc Di Sidoarjo
Oleh:Dr.H.Suhaeli,M.SI
Tragedi semburan lumpur
Lapindo merupakan suatu kasus yang menarik untuk dianalisis berdasarkan metode
ekonomi-politik. Relasi kekuasaan antara negara dengan pengusaha (borjuis) dalam
kasus ini terlihat sangat jelas. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan
negara yang sangat menguntungkan pihak lapindo dan merugikan masyarakat (korban
lumpur lapindo). Kebijakan pertama pemerintah dalam merespon bencana semburan
lapindo dengan dikeluarkannya Keppres Nomer 13 Tahun 2006 tentang Tim Nasional
Penanggulangan Semburan Lumpur Lapindo di Sidoarjo. Salah satu Isi dari Keppres
No.13 Tahun 2006 butir keenam menyebutkan bahwa "biaya yang diperlukan
bagi pelaksanaan tugas tim nasional dibebankan pada anggaran PT.Lapindo
Brantas”[1].
Menurut saya apabila biaya untuk tim nasional dari PT.Lapindo Brantas maka Tim
Nasional ini berpotensi bersikap tidak independen dalam menjalankan tugasnya. Ketidakindependenan
Tim Nasional terlihat dari hasil laporan kerja yang dibuat oleh Tim Nasional
tentang ketidakjelasan dalam memutuskan penyebab dari bencana semburan lumpur
lapindo sehingga membuat penanganan masalah sosial dan lingkungan menjadi tidak
terencana dengan baik. Hal ini sangat merugikan masyarakat baik secara sosial,
ekonomi dan ekologi.
Kebijakan pemerintah berikutnya yang sangat
mencerminkan ketidakberpihakan negara kepada masyarakat yakni Perpres Nomer.14
Tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. peraturan presiden
(perpres) No 14 tahun 2007 tentang badan penanggulangan lumpur pasal 15 ayat 1
menyebutkan bahwa biaya masalah sosial kemasyarakatan di luar peta wilayah yang
terkena dampak lumpur lapindo dibebankan kepada pemerintah. Sementara itu,
Lapindo hanya menanggung ganti rugi untuk warga yang ada di dalam peta Sidoarjo
(BPLS).[2]
Konsekeunsi dari kebijakan ini yakni jatah anggaran untuk penanggulangan lumpur
Lapindo lebih besar dari pada alokasi anggaran untuk infrastruktur di daerah
tertinggal (IDT) dimana anggarannya mencapai 3,79 Triliun Rupiah untuk tahun
2013 ini, lain halnya dengan anggaran IDT yang hanya mencapai 3,20 Triliun
Rupiah.[3]
Selain itu Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang dibentuk Presiden
juga tidak bisa berjalan secara efektif.
Pada saat terjadinya bencana lumpur lapindo,
Aburizal Bakrie (figur sentral di dalam grup bakrie) sedang menjabat sebagai
Menteri Kordinator Kesejahteraan Rakyat (Mesko Kesra) pada kabinet Indonesia
Bersatu jilid 1 dibawah kepemimpinan SBY. Keberadaan Aburizal Bakrie dalam
kabinet, membuat kebijakan pemerintah
tidak memihak kepada masyarakat korban lumpur lapindo[4].
Pada hari rabu tanggal 27 Februari 2008 di kantor kepresidenan. Aburizal
Bakrie, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, memimpin rapat tertutup
tentang penanganan dampak sosial lumpur panas di Sidoarjo. Presiden Yudhoyono
meninggalkan ruangan untuk bertemu menteri luar negeri Jerman, Frank Walter
Steinmeier, setelah membuka rapat itu. Sebelum meninggalkan ruangan, presiden
mengatakan pada forum agar memberikan kompensasi pada penduduk tiga desa
terdampak baru (Besuki, Pejarakan dan Kedung Cangkring), yang tidak termasuk
pada peta terdampak menurut Peraturan Presiden No.14 Tahun 2007, menggunakan
dana dari APBN. Bakrie yang ditunjuk presiden untuk melanjutkan rapat membuka
forum dengan berkata, “Saya minta perintah bapak Presiden tadi segera
dilaksanakan[5]”.
Kebijakan berikutnya yang dibuat oleh Presiden SBY yakni perpres nomer 48 tahun
2008. Jika dilihat dari perspektif partisipasi, perpres ini cenderung
mengabaikan untuk berdialog dengan publik dan menimbulkan kekecewaan masyarkat
korban lumpur lapindo. Selain itu, perpres ini juga hanya melanjutkan dalam
penanganan kasus lapindo.akibat kebijakan ini, anggaran negara terserap
triliunan dan hal ini sangat merugikan negara.
Dari uraian fenomena atas kasus semburan lumpur
Lapindo ini sangat jelas terlihat bahwa terdapat Kekuatan kelas yang dapat
mempengaruhi kebijakan negara, bagaimana kelas kapitalis melakukan berbagai
skenario untuk melancarkan setiap usahanya dan negara dijadikan alat untuk
memudahkan setiap tindakan yang diambil. Bahkan kesalahan yang sebenarnya
datang dari pihak kelas kapitalis tersebut itupun bisa dibayar oleh negara yang
kerugiannya diambil langsung dari anggaran perbelanjaan negara.
Melihat fenomena ini sangatlah terbukti hubungan
antara kelas kapitalis dengan negara sebagaimana yang disampaikan oleh kaum
instrumentalis dimana kaum instrumentalis berasumsi bahwa negara dikontrol oleh
kelas kapitalis dan tugas dari negara tersebut adalah melayani setiap
kepentingan-kepentingan dari kelas kapitalis tersebut. Menurut Milliband yaitu
salah satu dari pemikir instrumentalis menyatakan bahwa kelas penguasa
kapitalis didalam menjalankan kekuasaannya, menjadikan negara sebagai instrumen
untuk mendominasi masyarakat. Sebenarnya pendapat dari Milliband ini di ambil
dari salah satu pendirian eksplisit Marxis yang pandangannya ditarik langsung
dari communist manifesto dimana Marx
dan Engels menegaskan bahwa negara modern tidak lain adalah sebuah komite yang
mengelola setiap urusan umum seluruh kaum borjuis.[6]
Selain itu, fenomena ini juga membenarkan pernyataan kaum instrumentalis yang
lain yaitu Nelson Polsby yang menerapkan teori stratifikasi dimana menurutnya
para kapitalis yang dalam piramida kekuasaan menempati puncak tertinggi piramid
kekuasaan memiliki kekuasaan yang paling besar dari pada pemimpin politik dan
tokoh masyarakat, mereka memerintah demi kepentingannya sendiri,[7]
dan ini terbukti dengan kekuasaan yang mereka miliki mampu membayar semua pihak
untuk memenangkan setiap alibinya dan jalan akhir yang didapat adalah
keuntungan pribadi kaum kapitalis itu sendiri khususnya dalam kasus ini adalah
PT. Lapindo.
Apabila melihat dari
pendekatan Klasik yang menyatakan bahwa tugas negara yakni untuk melindungi
masyarakat dari kekerasan dan tugas untuk melindungi semua anggota masyarakat
dari ketidakadilan atau penindasan dari anggota lainnya. Dalam pembukan UUD
1945 alinea keempat sudah jelas menyebutkan bahwa salah satu fungsi dari negara
yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
berkaitan dengan kasus lapindo, menurut saya seharusnya negara membuat
kebijakan yang melindungi masyarakat korban lumpur lapindo tersebut. Dalam hal
ini, pemerintah harus berani menyatakan kepada PT Lapindo untuk mengganti rugi
semua korban lapindo tersebut. PT lapindo sebagai pihak yang paling
bertanggungjawab atas terjadinya bencana ini menanggung seluruh biaya kerusakan
baik masyarakat maupun pada infrastruktur dan wilayah publik yang terkena
dampak baik dampak langsung maupun tidak langsung.
[2] Cisilia
Andriani, “Dampak Sosial Bencana Lumpur
Lapindo Dan Penanganannya Di Desa Renokenongo: Studi Tentang Penanganan Ganti
Rugi Warga Desa Renokenongo”, (Skripsi S1, Program Studi Ilmu Administrasi
Negara, Universitas Pembangunan Nasional, 2011).
[3]. D. Tiala,
“Lumpur Lapindo Brantas Inc: Konflik
Kelas antara Pendekatan Psikososial dan Pendekatan Ekonomi Politik”. “Jurnal Pemberdayaan Masyarakat”, Volume
03, (2011) Hal 12.
[4] Bosman
Batubara, Kronik Lumpur Lapindo: Skandal
Bencana Industri Pengeboran Migas di Sidoarjo, (Yogyakarta: Insist Pres,
2012), Hal 149.
[5] Anton
Novenanto, “Melihat Kasus Lapindo Sebagai Bencana Alama”, “Jurnal Center for Religious and Cross
cultural Studies”, Volume 04,
(2008) Hal 21.
[6] Ronald
H. Chilcote. Teori Perbandingan Politik :Penelusuran Paradigma, (Raja Grafindo Persada:
Jakarta. 2007),
Hal. 485.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar