Rabu, 24 Juli 2013

Upaya Pemerintah Dalam Menangani Kasus Semburan Lumpur PT Lapindo Brantas Inc di Sidoarjo


Upaya Pemerintah Dalam Menangani Kasus Semburan Lumpur PT Lapindo Brantas Inc Di Sidoarjo
Oleh:Dr.H.Suhaeli,M.SI
Tragedi semburan lumpur Lapindo merupakan suatu kasus yang menarik untuk dianalisis berdasarkan metode ekonomi-politik. Relasi kekuasaan antara negara dengan pengusaha (borjuis) dalam kasus ini terlihat sangat jelas. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan negara yang sangat menguntungkan pihak lapindo dan merugikan masyarakat (korban lumpur lapindo). Kebijakan pertama pemerintah dalam merespon bencana semburan lapindo dengan dikeluarkannya Keppres Nomer 13 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Lapindo di Sidoarjo. Salah satu Isi dari Keppres No.13 Tahun 2006 butir keenam menyebutkan bahwa "biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas tim nasional dibebankan pada anggaran PT.Lapindo Brantas”[1]. Menurut saya apabila biaya untuk tim nasional dari PT.Lapindo Brantas maka Tim Nasional ini berpotensi bersikap tidak independen dalam menjalankan tugasnya. Ketidakindependenan Tim Nasional terlihat dari hasil laporan kerja yang dibuat oleh Tim Nasional tentang ketidakjelasan dalam memutuskan penyebab dari bencana semburan lumpur lapindo sehingga membuat penanganan masalah sosial dan lingkungan menjadi tidak terencana dengan baik. Hal ini sangat merugikan masyarakat baik secara sosial, ekonomi dan ekologi.
Kebijakan pemerintah berikutnya yang sangat mencerminkan ketidakberpihakan negara kepada masyarakat yakni Perpres Nomer.14 Tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. peraturan presiden (perpres) No 14 tahun 2007 tentang badan penanggulangan lumpur pasal 15 ayat 1 menyebutkan bahwa biaya masalah sosial kemasyarakatan di luar peta wilayah yang terkena dampak lumpur lapindo dibebankan kepada pemerintah. Sementara itu, Lapindo hanya menanggung ganti rugi untuk warga yang ada di dalam peta Sidoarjo (BPLS).[2] Konsekeunsi dari kebijakan ini yakni jatah anggaran untuk penanggulangan lumpur Lapindo lebih besar dari pada alokasi anggaran untuk infrastruktur di daerah tertinggal (IDT) dimana anggarannya mencapai 3,79 Triliun Rupiah untuk tahun 2013 ini, lain halnya dengan anggaran IDT yang hanya mencapai 3,20 Triliun Rupiah.[3] Selain itu Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang dibentuk Presiden juga tidak bisa berjalan secara efektif.
Pada saat terjadinya bencana lumpur lapindo, Aburizal Bakrie (figur sentral di dalam grup bakrie) sedang menjabat sebagai Menteri Kordinator Kesejahteraan Rakyat (Mesko Kesra) pada kabinet Indonesia Bersatu jilid 1 dibawah kepemimpinan SBY. Keberadaan Aburizal Bakrie dalam kabinet, membuat  kebijakan pemerintah tidak memihak kepada masyarakat korban lumpur lapindo[4]. Pada hari rabu tanggal 27 Februari 2008 di kantor kepresidenan. Aburizal Bakrie, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, memimpin rapat tertutup tentang penanganan dampak sosial lumpur panas di Sidoarjo. Presiden Yudhoyono meninggalkan ruangan untuk bertemu menteri luar negeri Jerman, Frank Walter Steinmeier, setelah membuka rapat itu. Sebelum meninggalkan ruangan, presiden mengatakan pada forum agar memberikan kompensasi pada penduduk tiga desa terdampak baru (Besuki, Pejarakan dan Kedung Cangkring), yang tidak termasuk pada peta terdampak menurut Peraturan Presiden No.14 Tahun 2007, menggunakan dana dari APBN. Bakrie yang ditunjuk presiden untuk melanjutkan rapat membuka forum dengan berkata, “Saya minta perintah bapak Presiden tadi segera dilaksanakan[5]”. Kebijakan berikutnya yang dibuat oleh Presiden SBY yakni perpres nomer 48 tahun 2008. Jika dilihat dari perspektif partisipasi, perpres ini cenderung mengabaikan untuk berdialog dengan publik dan menimbulkan kekecewaan masyarkat korban lumpur lapindo. Selain itu, perpres ini juga hanya melanjutkan dalam penanganan kasus lapindo.akibat kebijakan ini, anggaran negara terserap triliunan dan hal ini sangat merugikan negara.
Dari uraian fenomena atas kasus semburan lumpur Lapindo ini sangat jelas terlihat bahwa terdapat Kekuatan kelas yang dapat mempengaruhi kebijakan negara, bagaimana kelas kapitalis melakukan berbagai skenario untuk melancarkan setiap usahanya dan negara dijadikan alat untuk memudahkan setiap tindakan yang diambil. Bahkan kesalahan yang sebenarnya datang dari pihak kelas kapitalis tersebut itupun bisa dibayar oleh negara yang kerugiannya diambil langsung dari anggaran perbelanjaan negara.
Melihat fenomena ini sangatlah terbukti hubungan antara kelas kapitalis dengan negara sebagaimana yang disampaikan oleh kaum instrumentalis dimana kaum instrumentalis berasumsi bahwa negara dikontrol oleh kelas kapitalis dan tugas dari negara tersebut adalah melayani setiap kepentingan-kepentingan dari kelas kapitalis tersebut. Menurut Milliband yaitu salah satu dari pemikir instrumentalis menyatakan bahwa kelas penguasa kapitalis didalam menjalankan kekuasaannya, menjadikan negara sebagai instrumen untuk mendominasi masyarakat. Sebenarnya pendapat dari Milliband ini di ambil dari salah satu pendirian eksplisit Marxis yang pandangannya ditarik langsung dari communist manifesto dimana Marx dan Engels menegaskan bahwa negara modern tidak lain adalah sebuah komite yang mengelola setiap urusan umum seluruh kaum borjuis.[6] Selain itu, fenomena ini juga membenarkan pernyataan kaum instrumentalis yang lain yaitu Nelson Polsby yang menerapkan teori stratifikasi dimana menurutnya para kapitalis yang dalam piramida kekuasaan menempati puncak tertinggi piramid kekuasaan memiliki kekuasaan yang paling besar dari pada pemimpin politik dan tokoh masyarakat, mereka memerintah demi kepentingannya sendiri,[7] dan ini terbukti dengan kekuasaan yang mereka miliki mampu membayar semua pihak untuk memenangkan setiap alibinya dan jalan akhir yang didapat adalah keuntungan pribadi kaum kapitalis itu sendiri khususnya dalam kasus ini adalah PT. Lapindo.
Apabila melihat dari pendekatan Klasik yang menyatakan bahwa tugas negara yakni untuk melindungi masyarakat dari kekerasan dan tugas untuk melindungi semua anggota masyarakat dari ketidakadilan atau penindasan dari anggota lainnya. Dalam pembukan UUD 1945 alinea keempat sudah jelas menyebutkan bahwa salah satu fungsi dari negara yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. berkaitan dengan kasus lapindo, menurut saya seharusnya negara membuat kebijakan yang melindungi masyarakat korban lumpur lapindo tersebut. Dalam hal ini, pemerintah harus berani menyatakan kepada PT Lapindo untuk mengganti rugi semua korban lapindo tersebut. PT lapindo sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas terjadinya bencana ini menanggung seluruh biaya kerusakan baik masyarakat maupun pada infrastruktur dan wilayah publik yang terkena dampak baik dampak langsung maupun tidak langsung.


[1] http://www.presidenri.go.id/DokumenUU.php/290.pdf, diakses pada tanggal 10 Juni 2013.
[2] Cisilia Andriani, “Dampak Sosial Bencana Lumpur Lapindo Dan Penanganannya Di Desa Renokenongo: Studi Tentang Penanganan Ganti Rugi Warga Desa Renokenongo”, (Skripsi S1, Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Universitas Pembangunan Nasional, 2011).
[3]. D. Tiala, “Lumpur Lapindo Brantas  Inc: Konflik Kelas antara Pendekatan Psikososial dan Pendekatan Ekonomi Politik”. “Jurnal Pemberdayaan Masyarakat”, Volume 03, (2011) Hal 12.
[4] Bosman Batubara, Kronik Lumpur Lapindo: Skandal Bencana Industri Pengeboran Migas di Sidoarjo, (Yogyakarta: Insist Pres, 2012), Hal 149.
[5] Anton Novenanto, “Melihat Kasus Lapindo Sebagai Bencana Alama”, “Jurnal Center for Religious and Cross  cultural Studies”,  Volume 04, (2008) Hal 21.
[6] Ronald H. Chilcote. Teori Perbandingan Politik :Penelusuran Paradigma, (Raja Grafindo Persada: Jakarta. 2007), Hal. 485.
[7] Ibid,. Hal. 485-486

Tidak ada komentar:

Posting Komentar