Birokrasi dan Para Ideolog Serta
Implementasinya di Indonesia
Oleh:Dr.H.Suhaeli,M.SI
A. Birokrasi dan Para Ideolog
Pada bab IV
secara umum membahas tentang birokrasi oleh Karl Marx dan kaum fasis. Dalam hal
ini, terdapat kritik dari Karl Marx kepada Hegel tentang birokrasi. Selain itu,
pada kaum fasis terjadi perbedaan pendapat antara Mussolini dengan Hitler
tentang birokrasi. Perdebatan-perdebatan antara para ideolog satu dengan lain
akan dibahas dalam review ini. Dengan demikian, nanti akan terlihat seberapa
penting birokrasi dalam sebuah negara oleh para ideolog.
Menurut Hegel
bahwa negara adalah sarana untuk kepentingan umum, artinya bahwa kepentingan
umum ini suatu kepentingan yang berbeda dari kepentingan yang terpisah dan
khusus dari para anggota masyarakat sipil.
Terdapat tugas eksekutif untuk menjalankan keputusan (kebijakan) tentang
hakikat kepentingan umum tersebut. Tugas tersebut dipikul bersama dengan
panitia penasihat kolegial, pejabat-pejabat negara yang diarahkan menurut
prinsip pembagian kerja kemudian dialokasikan kepada departemen-departemen yang
secara hirarkis diorganisir di bawah menteri-menteri. Nilai-nilai dan
sikap-sikap para pejabat itu sendiri diilhami oleh perasaan keadilan dan tidak
mementingkan diri sendiri. Dengan demikian, kepentingan umum dapat dilaksanakan
oleh negara dengan baik.
Pendapat Hegel
tersebut mendapatkan kritik yang sangat pedas oleh Marx. Menurut Karl Marx
bahwa pendapat Hegel tersebut sudah muncul kata demi kata di dalam
perundang-undangan dan Marx memandang bahwa Hegel membahas birokrasi dengan
sangat sederhana. Pada dasarnya Marx keberatan terhadap cara Hegel menguji
hubungan antara masyarakat dan negara. Mula-mula kedua-duanya terpisah, Negara
mewakili kepentingan umum dan masyarakat mengejar kepentingan khusu. Kemudian
keduanya disatukan melalui pembagian hirarki, hak-hak bebas untuk korporasi dan
moralitas tinggi dari pejabat.
Marx menjelaskan bahwa walaupun negara
telah menjadi suatu entitas yang terpisah namun negara tidak lebih dari bentuk
organisasi yang kaum borjuis perlu mengadopsinya. Dalam hal ini, ia mengartikan
kekuasaan politik sebagai kekuasaan suatu kelas yang terorganisir untuk menekan
kelas yang lain. Bagi marx birokrasi dipandang sebagai kekuatan yang otonom,
mengembangkan mode eksistensinya sendiri dan memerintah masyarakat selebihnya
lebih menurut kepentingannya sendiri[1].
Dengan demikian, birokrasi merupakan instrument kelas, maka di dalam suatu
masyarakat tidak berkelas tidak ada birokrasi.
Berbeda hal nya dengan kaum fasis
dalam memandang birokrasi. Sebagai lawan golongan Marxis, kaum fasis meletakkan
teori tentang negara pada pusat doktrinnya. Dalam hal ini, terdapat adanya penekanan
yang berbeda pada penempatan gagasan birokrasi antara di Italia dan di Jerman. Kaum
fasis di italia mempunyai masalah dalam hal memajukan kepatuhan yang lebih
besar atas campur tangan negara, sedangkan kaum nazi telah menyerahkan kembali
suatu mesin negara yang telah berkembang jauh. Bagi Mussolini tentang negara
korporasi, ia menolak anggapan bahwa birokrasi merupakan rintangan antara
rakyat dan negara, karena melalui fasisme warga negara dihubungkan secara intim
dengan mesin administrasi. Ia melihat birokrasi sebagai suatu motede
administrasi yang moderen, suatu kenyataan kehidupan yang dianggap benar.
Berbeda dengan kaum nazi, birokrasi
tidak memiliki tempat yang berarti dalam tulisan nazi. Hitler menerangkan bahwa
gerakannya akan meletakkan kehidupan dalam suatu mesin tetapi ia pun memberikan
pujian kepada kompetensi dan tidak korupsinya pegawai negeri kerajaan. Dapat
disimpulkan antara pandangan kaum marxis dan kaum fasis tentang birokrasi,
kenyataan bahwa konsep birokrasi sebagai suatu alat negara. Jika kaum nazi
mendukung birokrasi hal itu dikarenakan mereka melihat bahwa dalam birokrasi
terdapat suatu kelompok elite yang tetap membantu mereka dalam menjalankan
kekuasaan. Bagi mereka dan kaum fasis Italia hal ini mewujudkan penyatuan
antara bangsa dan negara. Sedangkan gagasan birokrasi Marx tidak dapat
membangkitkan suatu gerakan yang diperlukan untuk memperkuat bangsa.
B. Kritik Terhadap Birokrasi dan Para
Ideolog
Saya menganalisis bahwa konsep birokrasi yang diterapkan di
Indonesia tidak seperti yang dijelaskan oleh kaum marxis dan kaum nazi. Konsep
birokrasi di Indonesia lebih cenderung untuk mewujudkan nilai-nilai,
seperti efisiensi, output yang standar, dan kepastian. Dalam hal
ini, diperlukan adanya pembagian kerja dan meritokrasi (jasa). Pembagian kerja
dan meritokrasi merupakan faktor pendorong bagi berkembangnya profesionalisme
dan keahlian teknis. ada korelasi antara pembagian kerja, meritokrai,
profesionalisme dan keahlian teknis. Dengan demikian, konsep birokrasi oleh
marx yang menyatakan birokrasi merupakan instrument
kelas, maka di dalam suatu masyarakat tidak berkelas tidak ada birokrasi tidak sesuai
dengan keadaan yang terjadi di Indoensia.
Saya melihat pada realita yang terjadi di instansi Samsat, konsep
birokrasi yang diharapkan dapat mewujudkan efisiensi, output yang standar dan
kapasitas belum dapat terwujud sesuai dengan harapannya. Pelayanan yang lambat,
praktek calo dan pungutan liar masih menjadi problem keluh kesah masyarakat
Indonesia. Selain itu, fenomena lain yang terjadi
bahwa memang masih ditemukan kenyatan birokrasi dijadikan alat oleh penguasa
untuk melanggengkan kekuasaannya. Misalnya dalam momentum pilkadal di
daerah-daerah tertentu. Kepala daerah memobilisasi para birokrat untuk membantu
atau mendukung dalam memenangkan pilkadal tersebut. Oleh karena itu, pandangan
kaum marxis dan kaum fasis tentang birokrasi, bahwa konsep birokrasi sebagai
suatu alat negara masih ditemukan dalam implementasi sistem birokrasi di
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar