Minggu, 21 Juli 2013

Birokrasi dan Para Ideolog Serta Implementasinya di Indonesia

Birokrasi dan Para Ideolog Serta Implementasinya di Indonesia
Oleh:Dr.H.Suhaeli,M.SI
A.    Birokrasi dan Para Ideolog
Pada bab IV secara umum membahas tentang birokrasi oleh Karl Marx dan kaum fasis. Dalam hal ini, terdapat kritik dari Karl Marx kepada Hegel tentang birokrasi. Selain itu, pada kaum fasis terjadi perbedaan pendapat antara Mussolini dengan Hitler tentang birokrasi. Perdebatan-perdebatan antara para ideolog satu dengan lain akan dibahas dalam review ini. Dengan demikian, nanti akan terlihat seberapa penting birokrasi dalam sebuah negara oleh para ideolog.
Menurut Hegel bahwa negara adalah sarana untuk kepentingan umum, artinya bahwa kepentingan umum ini suatu kepentingan yang berbeda dari kepentingan yang terpisah dan khusus dari para anggota masyarakat sipil.  Terdapat tugas eksekutif untuk menjalankan keputusan (kebijakan) tentang hakikat kepentingan umum tersebut. Tugas tersebut dipikul bersama dengan panitia penasihat kolegial, pejabat-pejabat negara yang diarahkan menurut prinsip pembagian kerja kemudian dialokasikan kepada departemen-departemen yang secara hirarkis diorganisir di bawah menteri-menteri. Nilai-nilai dan sikap-sikap para pejabat itu sendiri diilhami oleh perasaan keadilan dan tidak mementingkan diri sendiri. Dengan demikian, kepentingan umum dapat dilaksanakan oleh negara dengan baik.
Pendapat Hegel tersebut mendapatkan kritik yang sangat pedas oleh Marx. Menurut Karl Marx bahwa pendapat Hegel tersebut sudah muncul kata demi kata di dalam perundang-undangan dan Marx memandang bahwa Hegel membahas birokrasi dengan sangat sederhana. Pada dasarnya Marx keberatan terhadap cara Hegel menguji hubungan antara masyarakat dan negara. Mula-mula kedua-duanya terpisah, Negara mewakili kepentingan umum dan masyarakat mengejar kepentingan khusu. Kemudian keduanya disatukan melalui pembagian hirarki, hak-hak bebas untuk korporasi dan moralitas tinggi dari pejabat.

Marx menjelaskan bahwa walaupun negara telah menjadi suatu entitas yang terpisah namun negara tidak lebih dari bentuk organisasi yang kaum borjuis perlu mengadopsinya. Dalam hal ini, ia mengartikan kekuasaan politik sebagai kekuasaan suatu kelas yang terorganisir untuk menekan kelas yang lain. Bagi marx birokrasi dipandang sebagai kekuatan yang otonom, mengembangkan mode eksistensinya sendiri dan memerintah masyarakat selebihnya lebih menurut kepentingannya sendiri[1]. Dengan demikian, birokrasi merupakan instrument kelas, maka di dalam suatu masyarakat tidak berkelas tidak ada birokrasi.
Berbeda hal nya dengan kaum fasis dalam memandang birokrasi. Sebagai lawan golongan Marxis, kaum fasis meletakkan teori tentang negara pada pusat doktrinnya. Dalam hal ini, terdapat adanya penekanan yang berbeda pada penempatan gagasan birokrasi antara di Italia dan di Jerman. Kaum fasis di italia mempunyai masalah dalam hal memajukan kepatuhan yang lebih besar atas campur tangan negara, sedangkan kaum nazi telah menyerahkan kembali suatu mesin negara yang telah berkembang jauh. Bagi Mussolini tentang negara korporasi, ia menolak anggapan bahwa birokrasi merupakan rintangan antara rakyat dan negara, karena melalui fasisme warga negara dihubungkan secara intim dengan mesin administrasi. Ia melihat birokrasi sebagai suatu motede administrasi yang moderen, suatu kenyataan kehidupan yang dianggap benar.
Berbeda dengan kaum nazi, birokrasi tidak memiliki tempat yang berarti dalam tulisan nazi. Hitler menerangkan bahwa gerakannya akan meletakkan kehidupan dalam suatu mesin tetapi ia pun memberikan pujian kepada kompetensi dan tidak korupsinya pegawai negeri kerajaan. Dapat disimpulkan antara pandangan kaum marxis dan kaum fasis tentang birokrasi, kenyataan bahwa konsep birokrasi sebagai suatu alat negara. Jika kaum nazi mendukung birokrasi hal itu dikarenakan mereka melihat bahwa dalam birokrasi terdapat suatu kelompok elite yang tetap membantu mereka dalam menjalankan kekuasaan. Bagi mereka dan kaum fasis Italia hal ini mewujudkan penyatuan antara bangsa dan negara. Sedangkan gagasan birokrasi Marx tidak dapat membangkitkan suatu gerakan yang diperlukan untuk memperkuat bangsa.



B.     Kritik Terhadap Birokrasi dan Para Ideolog
Saya menganalisis bahwa konsep birokrasi yang diterapkan di Indonesia tidak seperti yang dijelaskan oleh kaum marxis dan kaum nazi. Konsep birokrasi di Indonesia lebih cenderung untuk mewujudkan nilai-nilai, seperti  efisiensi, output yang standar, dan kepastian.  Dalam hal ini, diperlukan adanya pembagian kerja dan meritokrasi (jasa). Pembagian kerja dan meritokrasi merupakan faktor pendorong bagi berkembangnya profesionalisme dan keahlian teknis. ada korelasi antara pembagian kerja, meritokrai, profesionalisme dan keahlian teknis. Dengan demikian, konsep birokrasi oleh marx yang menyatakan birokrasi merupakan instrument kelas, maka di dalam suatu masyarakat tidak berkelas tidak ada birokrasi tidak sesuai dengan keadaan yang terjadi di Indoensia.
Saya melihat pada realita yang terjadi di instansi Samsat, konsep birokrasi yang diharapkan dapat mewujudkan efisiensi, output yang standar dan kapasitas belum dapat terwujud sesuai dengan harapannya. Pelayanan yang lambat, praktek calo dan pungutan liar masih menjadi problem keluh kesah masyarakat Indonesia. Selain itu, fenomena lain yang terjadi bahwa memang masih ditemukan kenyatan birokrasi dijadikan alat oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Misalnya dalam momentum pilkadal di daerah-daerah tertentu. Kepala daerah memobilisasi para birokrat untuk membantu atau mendukung dalam memenangkan pilkadal tersebut. Oleh karena itu, pandangan kaum marxis dan kaum fasis tentang birokrasi, bahwa konsep birokrasi sebagai suatu alat negara masih ditemukan dalam implementasi sistem birokrasi di Indonesia.


[1] Martin Albrow, Birokrasi, (Yogyakarta:Tiara Wacana, 2004) hal, 85.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar