Sabtu, 27 Juli 2013

Legitimasi, Kekarasan Politik, Revolusi dan Transi ke Arah Demokrasi



Legitimasi, Kekerasan Politik, Revolusi dan Transisi ke Arah Demokrasi

Oleh:Dr.H.Suhaeli,M.SI

Proses demokratisasi berkembang dalam beberapa tahap diantaranya yakni Pertama, Dalam diskursus resmi di Washington, London, Paris, dan Brussels bahwa peningkatan demokrasi merupakan tema yang sering diangkat. Kedua, Perkembangan demokrasi terus berlanjut pada Desember 1940 Presiden Roosevelt mengusulkan untuk menjelmakan Amerika ke dalam suatu gelombang “gudang besar demokrasi”.  Selanjutnya pada  Bulan Agustus tahun 1941 Amerika berhasil membujuk Churchill untuk menerima tiga butir Piagam Atlantik yang memperjuangkan  Hak semua manusia untuk memilih bentuk pemerintahan tempat dimana mereka hidup.  Ketiga, Pada tahun 1948 berdirilah organisasi Negara-negara Amerika dan semua Negara anggota menandatangani akta puncak bogota tentang Pemeliharaan dan Pertanahan Demokrasi di Amerika. Keempat, pada Bulan Mei tahun 1949 sepuluh Negara demokratis Eropah mendirikan sebuah majelis (council of Europe) yang tidak hanya saja mengharuskan para anggotanya menegakan aturan hokum, hak-hak asasi manusia, dan kebebasan-kebebasan dasariah tetapi juga menjatuhkan skorsing bagi anggota yang melanggar aturan-aturan yang telah ditegakan. Dengan demikian, embrio berkembangnya demokrasi ke negara-negara berawal dari munculnya majelis Council of Europe[1].
Karena prinsip demokrasi menjamin kesamaan bak bagi semua orang, maka salah satu prinsip yang diagungkan ialah bahwa semua orang tanpa terkecuali mempunyai hak untuk memerintah dan bukan hak untuk diperintah. Hak untuk memerintah itu harus diperoleh secara bergilir oleh semua orang tanpa memandang kondisi ekonomi dan kemampuan intelektual seseorang dan hal itu justru merupakan perwujudan yang paling konkrit dari asas kebebasan dan kesamaan hak. Dalam hal ini, legitimasi pemimpin dapat diperoleh lewat pemilihan umum yang harus diselenggarakan secara demokratis[2]. menurut saya apabila prinsip demokrasi pada kebebasan dan persamaan hak, maka pemilihan para pejabat pemerintah tidak boleh didasarkan pada kualifikasi seseorang. Pendidikan, kecakapan, keahlian, pengalaman, kearifan dan kecerdasan tidak boleh dijadikan persyaratan bagi pemilihan pemimpin.


[1] O’Donnell, Guillermo,  Philippe C. Schimitter dan Laurence Whitehead, (eds.) terj., Transisi Menuju Demokrasi: Tinjauan Berbagai Perspektif, (Jakarta: LP3ES, 1993), hal 4-13.
[2] J.H. Rapar, Filsafat Politik Aristoteles, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), hal 89.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar