Pemikiran John Locke Tentang Kekuasaan Negara Serta Implementasinya di Indonesia
Oleh:Dr.H.Suhaeli, M.SI
A. Pemikiran John Locke Tentang Kekuasaan Negara
Pemikiran Locke tentang kekuasaan negara menyatakan bahwa
kekuasaan negara pada hakikatnya dibentuk untuk menjaga hak-hak kepemilikan
(kehidupan, kebebasan, dan harta) individual. Dalam hal ini, hak pemilikan
individu itu merupakan suatu bentuk hak-hak alamiah yang dimiliki manusia. Dalam
keadaan alamiah, hak-hak kepemilikan belum ada[1].
Hak kepemilikan individual baru muncul manakala individu bekerja keras
mengelolah apa yang telah diberikan Tuhan itu. Misalnya, mengelolah tanah
kosong menjadi lahan pertanian atau perkebunan yang hasilnya kemudian menjadi
milik orang yang mengolah lahan-lahan itu. Oleh karena itu, dengan bekerja
manusia mentransformasi anugrah Tuhan milik bersama itu menjadi milik individu.
sebagian manusia ada yang kreatif dan bekerja keras mengolah kekayaan alam
anugrah Tuhan itu.
Semakin terakumulasi kepemilikan itu, manusia semakin
khawatir dan takut terhadap ancaman pada hak-hak kepemilikan dan dirinya. Rasa
takut dan perlunya perlindungan atas kepemilikan kekayaan dan dirinya itulah
yang kemudian mendorong individu untuk menyerahkan sebagian hak-hak alamiahnya
kepada suatu kekuasaan yang disebut oleh Locke sebagai supreme power (kekuasaan
negara). Manusia membutuhkan proteksi atas dirinya dan kekayaan materialnya.
Kebutuhan akan proteksi itulah yang mendorong manusia untuk membuat perjanjian
sosial. Dalam perjanjian sosial itu individu sepakat untuk menyerahkan sebagian
hak-hak alamiahnya kepada suatu lembaga kekuasaan berupa kekuasaan tertinggi
yaitu negara. Dengan demikian, atas dasar kontrak sosial itu negara dibentuk
semata-mata untuk menjaga harta dan jiwa individu yang setiap saat bisa
terancam.
Menurut Locke prinsip kekuasaan negara yakni,
kekuasaan negara tidak lain merupakan sebuah kepercayaan rakyat kepada penguasa
untuk memerintah mereka (rakyat). Artinya bahwa basis legitimasi kekuasaan
negara yakni rakyat. Penguasa tetap diakui legitimasinya selama ia tidak
menyalahi kepercayaan rakyat, maka penguasa tidak berhak mengklaim dirinya
berkuasa atas rakyat. Dalam hal ini, karena kekuasaan negara dari rakyat dan
produk perjanjian sosial warga negara maka kekuasaan itu tidak bebas dan otonom
berhadapan dengan aspirasi dan kehendak rakyat. Dengan demikian, negara harus
menghargai dan menjunjung tinggi hak-hak individu.
Hak-hak itu telah ada dengan sendirinya sebelum Negara
terbentuk. Hak-hak itu tidak bisa dirampas dan harus dihormati karena menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dan melekat dalam martabat sebagai manusia.
Hak-hak itu antara lain adalah hak hidup, hak memiliki kekayaan, hak bebas
beragama dan hak untuk berontak terhadap kekuasaan negara yang tiranik. Selain
itu, untuk mencegah timbulnya negara absolute dan terjaminnya kehidupan civil
society dibutuhkan konstitusi dalam membatasi kekuasaan negara. Peran
konstitusi sangat penting bagi suatu negara karena didalamnya termuat
aturan-aturan dasar pembatasan kekuasaan dan hak-hak asasi warga negara. Aturan
konstitusi itu tidak boleh dilanggar oleh penguasa negara.
Dominasi negara dalam mengatur rakyat hanya akan
menyebabkan hilangnya hak-hak rakyat dan ketidakberdayaan rakyat menghadapi
kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dibatasi dengan cara mencegah
sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan atau lembaga. Diperlukan pemisahan
kekuasaan politik kedalam tiga bentuk yakni, kekuasaan eksekutif, kekuasaan
legislatif, dan kekuasaan federatif. Dalam hal ini, kekuasaan eksekutif adalah
kekuasaan yang melaksanakan undang-undang sedangkan kekuasaan legislatif
merupakan lembaga perumus undang-undang dan peraturan–peraturan hukum
fundamental negara serta kekuasaan federatif berkaitan dengan masalah hubungan
luar negeri, kekuasan menentukan perang, perdamaian, liga, dan aliansi antar
negara dan transaksi-transaksi dengan negara-negara asing.
B. Implementasi Pemikiran Locke di Indonesia (Studi Kasus
Peristiwa Tanjung Priok)
Saya akan menganalisis tentang hak-hak individu yang tidak
dilindungi oleh negara pada masa orde baru di Indonesia. Pada masa orde baru
kasus pelanggaran HAM sering sekali terjadi di Indonesia. Salah satu kasus yang
akan saya analisis yakni peristiwa tanjung priok. Dalam hal ini, Peristiwa ini
berlangsung dengan latar belakang dorongan pemerintah Orde Baru agar semua organisasi masyarakat
menggunakan azas tunggal Pancasila. Penyebab dari peristiwa ini adalah tindakan
perampasan brosur yang mengkritik pemerintah di salah satu mesjid di kawasan
Tanjung Priok dan penyerangan oleh massa kepada aparat. Berdasarkan data yang
saya peroleh tercatat banyak korban dari peristiwa ini. Setidaknya 9 orang
tewas terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas oleh tindakan aparat[2]. Dengan
demikian, pelanggaran terhadap HAM yang dilakukan oleh aparatur negara di
Indonesia sangat bertentangan dengan pemikiran John Locke.
Setelah tumbangnya rezim orde baru upaya penegakan HAM mulai di
perhatikan di Indonesia. Pada masa reformasi pengakuan terhadap hak-hak pribadi
(HAM) mulai diperhatikan di Indonesia. Setelah keluarnya keppres No. 50/1993
tentang komunis HAM dilanjutkan dengan lahirnya TAP MPR No. XVII/MPR/1998
tentang hak asasi manusia, kemudian disusul dengan keluarnya UU No. 39/1999
tentang pelaksannan HAM di Indonesia, serta perpu No. 1/1999 tentang peradilan
HAM. Dalam hal ini, demokrasi yang sempurna adalah system kekuasaan yang
memiliki komitmen untuk memperjuangkan hak azasi manusia dan penegakan hokum
yang independen. Dengan demikian, pemikiran locke mulai mendapat perhatian
setelah rezim orde baru di Indonesia.
Pada tahun 2004 sejumlah aparat militer diadili dengan tuduhan
pelanggaran hak asasi manusia
pada peristiwa tanjung priok tersebut. Pada kasus
pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, pemerintah menyelesaikan masalah HAM
dengan lebih memilih jalur hukum, dengan cara membentuk “Peradilan Hak Asasi
Manusia”. Peradilan ini diberikan wewenang untuk memeriksa dan memutuskan
perkara pelanggaran HAM yang terjadi di Tanjung Priok. Akan tetapi peradilan
ini dinilai sangat lamban dan deskriminatif dalam menyelesaikan masalah HAM. Menurut
saya dibutuhkan institusi negara yang kuat untuk menyelesaikan kasus HAM
tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar