Rabu, 17 Juli 2013

Pemikiran John Locke Tentang Kekuasaan Serta Implementasinya di Indonesia



 Pemikiran John Locke Tentang Kekuasaan Negara Serta Implementasinya di Indonesia
  Oleh:Dr.H.Suhaeli, M.SI
A.    Pemikiran John Locke Tentang Kekuasaan Negara
Pemikiran Locke tentang kekuasaan negara menyatakan bahwa kekuasaan negara pada hakikatnya dibentuk untuk menjaga hak-hak kepemilikan (kehidupan, kebebasan, dan harta) individual. Dalam hal ini, hak pemilikan individu itu merupakan suatu bentuk hak-hak alamiah yang dimiliki manusia. Dalam keadaan alamiah, hak-hak kepemilikan belum ada[1]. Hak kepemilikan individual baru muncul manakala individu bekerja keras mengelolah apa yang telah diberikan Tuhan itu. Misalnya, mengelolah tanah kosong menjadi lahan pertanian atau perkebunan yang hasilnya kemudian menjadi milik orang yang mengolah lahan-lahan itu. Oleh karena itu, dengan bekerja manusia mentransformasi anugrah Tuhan milik bersama itu menjadi milik individu. sebagian manusia ada yang kreatif dan bekerja keras mengolah kekayaan alam anugrah Tuhan itu.
Semakin terakumulasi kepemilikan itu, manusia semakin khawatir dan takut terhadap ancaman pada hak-hak kepemilikan dan dirinya. Rasa takut dan perlunya perlindungan atas kepemilikan kekayaan dan dirinya itulah yang kemudian mendorong individu untuk menyerahkan sebagian hak-hak alamiahnya kepada suatu kekuasaan yang disebut oleh Locke sebagai supreme power (kekuasaan negara). Manusia membutuhkan proteksi atas dirinya dan kekayaan materialnya. Kebutuhan akan proteksi itulah yang mendorong manusia untuk membuat perjanjian sosial. Dalam perjanjian sosial itu individu sepakat untuk menyerahkan sebagian hak-hak alamiahnya kepada suatu lembaga kekuasaan berupa kekuasaan tertinggi yaitu negara. Dengan demikian, atas dasar kontrak sosial itu negara dibentuk semata-mata untuk menjaga harta dan jiwa individu yang setiap saat bisa terancam.  
Menurut Locke prinsip kekuasaan negara yakni, kekuasaan negara tidak lain merupakan sebuah kepercayaan rakyat kepada penguasa untuk memerintah mereka (rakyat). Artinya bahwa basis legitimasi kekuasaan negara yakni rakyat. Penguasa tetap diakui legitimasinya selama ia tidak menyalahi kepercayaan rakyat, maka penguasa tidak berhak mengklaim dirinya berkuasa atas rakyat. Dalam hal ini, karena kekuasaan negara dari rakyat dan produk perjanjian sosial warga negara maka kekuasaan itu tidak bebas dan otonom berhadapan dengan aspirasi dan kehendak rakyat. Dengan demikian, negara harus menghargai dan menjunjung tinggi hak-hak individu.
Hak-hak itu telah ada dengan sendirinya sebelum Negara terbentuk. Hak-hak itu tidak bisa dirampas dan harus dihormati karena menjadi bagian yang tidak terpisahkan dan melekat dalam martabat sebagai manusia. Hak-hak itu antara lain adalah hak hidup, hak memiliki kekayaan, hak bebas beragama dan hak untuk berontak terhadap kekuasaan negara yang tiranik. Selain itu, untuk mencegah timbulnya negara absolute dan terjaminnya kehidupan civil society dibutuhkan konstitusi dalam membatasi kekuasaan negara. Peran konstitusi sangat penting bagi suatu negara karena didalamnya termuat aturan-aturan dasar pembatasan kekuasaan dan hak-hak asasi warga negara. Aturan konstitusi itu tidak boleh dilanggar oleh penguasa negara. 
Dominasi negara dalam mengatur rakyat hanya akan menyebabkan hilangnya hak-hak rakyat dan ketidakberdayaan rakyat menghadapi kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan atau lembaga. Diperlukan pemisahan kekuasaan politik kedalam tiga bentuk yakni, kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan federatif. Dalam hal ini, kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang melaksanakan undang-undang sedangkan kekuasaan legislatif merupakan lembaga perumus undang-undang dan peraturan–peraturan hukum fundamental negara serta kekuasaan federatif berkaitan dengan masalah hubungan luar negeri, kekuasan menentukan perang, perdamaian, liga, dan aliansi antar negara dan transaksi-transaksi dengan negara-negara asing.

B.     Implementasi Pemikiran Locke di Indonesia (Studi Kasus Peristiwa Tanjung Priok)
Saya akan menganalisis tentang hak-hak individu yang tidak dilindungi oleh negara pada masa orde baru di Indonesia. Pada masa orde baru kasus pelanggaran HAM sering sekali terjadi di Indonesia. Salah satu kasus yang akan saya analisis yakni peristiwa tanjung priok. Dalam hal ini, Peristiwa ini berlangsung dengan latar belakang dorongan pemerintah Orde Baru agar semua organisasi masyarakat menggunakan azas tunggal Pancasila. Penyebab dari peristiwa ini adalah tindakan perampasan brosur yang mengkritik pemerintah di salah satu mesjid di kawasan Tanjung Priok dan penyerangan oleh massa kepada aparat. Berdasarkan data yang saya peroleh tercatat banyak korban dari peristiwa ini. Setidaknya 9 orang tewas terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas oleh tindakan aparat[2]. Dengan demikian, pelanggaran terhadap HAM yang dilakukan oleh aparatur negara di Indonesia sangat bertentangan dengan pemikiran John Locke.
Setelah tumbangnya rezim orde baru upaya penegakan HAM mulai di perhatikan di Indonesia. Pada masa reformasi pengakuan terhadap hak-hak pribadi (HAM) mulai diperhatikan di Indonesia. Setelah keluarnya keppres No. 50/1993 tentang komunis HAM dilanjutkan dengan lahirnya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang hak asasi manusia, kemudian disusul dengan keluarnya UU No. 39/1999 tentang pelaksannan HAM di Indonesia, serta perpu No. 1/1999 tentang peradilan HAM. Dalam hal ini, demokrasi yang sempurna adalah system kekuasaan yang memiliki komitmen untuk memperjuangkan hak azasi manusia dan penegakan hokum yang independen. Dengan demikian, pemikiran locke mulai mendapat perhatian setelah rezim orde baru di Indonesia.
Pada tahun 2004 sejumlah aparat militer diadili dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia pada peristiwa tanjung priok tersebut. Pada kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, pemerintah menyelesaikan masalah HAM dengan lebih memilih jalur hukum, dengan cara membentuk “Peradilan Hak Asasi Manusia”. Peradilan ini diberikan wewenang untuk memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran HAM yang terjadi di Tanjung Priok. Akan tetapi peradilan ini dinilai sangat lamban dan deskriminatif dalam menyelesaikan masalah HAM. Menurut saya dibutuhkan institusi negara yang kuat untuk menyelesaikan kasus HAM tersebut.


[1] Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat (Jakarta;CV Rajawali, 1964), hal 89.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar