GERAKAN FEMINISME DALAM PENINGKATAN
KETERWAKILAN POLITIK PADA LEMBAGA LEGISLATIF DI INDONESIA
Oleh: Dr.H.Suhaeli,M.SI
Gerakan-gerakan dan
gagasan feminisme mulai berpengaruh di berbagai belahan dunia, termasuk di
Indonesia seperti yang dipelopori oleh R.A. Kartini. Perjuangan yang dilakukan
oleh R.A. Kartini dengan menuntut adanya emansipasi antara laki-laki dan
perempuan.
Pada
saat Orde Lama, gerakan perempuan berkembang baik dengan tumbuhnya berbagai
organisasi perempuan, misalnya Wanita Marhaen, Gerwani (Gerakan Wanita
Indonesia), Kowani dan Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia).
gerakan-gerakan ini mempunyai peran yang cukup penting dalam merebut
kemerdekaan dan mempunyai relasi yang cukup baik dengan negara. Akan tetapi, organisasi-organisasi
perempuan pada masa Orde Baru menjadi organisasi fungsional.. Hal ini semakin
menunjukkan bentuknya setelah pada tahun 1974 Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi
diresmikan sebagai organisasi istri pegawai negeri sipil dan istri anggota ABRI[1].
Keberadaan perempuan belum diakui dalam perpolitikan
secara formal di Indonesia. Hasil penelitian di berbagai negara tentang
partisipasi perempuan dalam politik menunjukan bahwa persentase representasi perempuan
sangat rendah dalam perpolitikan formal (lembaga perwakilan atau pemerintahan)
di berbagai negara, termasuk Indonesia[2]. Berkaitan
dengan keterwakilan perempuan pada lembaga legislatif di Indonesia menunjukan
bahwa representasi politik perempuan dari waktu ke waktu sangat rendah. Keberadaan
perempuan yang sangat rendah dalam lembaga legislatif menyebabkan banyak
aspirasi, kepentingan, kebutuhan perempuan yang diabaikan dan dikorbankan dalam
kebijakan-kebijakan dan keputusan sosial, politik atau ekonomi dalam negara. Salah
satu kebijakan pemerintah orde baru yang merugikan untuk perempuan adalah
pelaksanaan program Keluarga Berencana.[3] Reformasi
pada tahun 1998 telah membuat terjadinya perubahan politik yang membawa harapan
politik khususnya untuk gerakan feminisme di Indonesia. Tulisan ini akan
membahas tentang upaya yang dilakukan kaum feminisme dalam meningkatkan
keterwakilan pada lembaga legislatif di Indonesia.
Upaya Kaum Feminisme Pada Era
Reformasi Dalam Peningkatan Keterwakilan di Lembaga Legislatif
Rendahnya jumlah
keterwakilan perempuan pada lembaga legislatif membuat kaum feminisme berjuang
untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Rendahnya
jumlah perempuan dapat dilihat pada tahun 1950–1955 keterwakilan perempuan
dalam legislatif mendapat 9 kursi (3,8%) dari 236 kursi anggota legislatif
terpilih saat itu. Kemudian jumlah keterwakilan perempuan hasil Pemilu
1955–1960 mencapai 17 kursi (6,3%) dari 272 anggota parlemen terpilih. Pada era
Konstituante (1956-1959) peroleh kursi legislatif perempuan mencapai 25 kursi
(5,1%) dari 488 kursi anggota Konstituante. Bagitu pun di era Orde Baru,
keterwakilan politik perempuan di parlemen pada pemilu pertama Orde Baru
(1971–1977) menempatkan perempuan pada 36 kursi parlemen (7,8%), Pemilu tahun 1977
mendapatkan 29 kursi (6,3%), dan Pemilu tahun 1982 mencapai 39 krusi (8,5%)
dari 460 anggota DPR terpilih pada tiga periode Pemilu tersebut. Selanjutnya,
Pemilu 1987 menempatkan perempuan pada 65 kursi (13%) dari 500 kursi DPR, dan
terus mengalami penurunan pada Pemilu 1992-1997, 1997–1999. Oleh karena itu,
keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif masih sangat rendah dan selalu
mengalami naik-turun jumlah keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif[4]
Jatuhnya rezim orde
baru (otoriter) merupakan kesempatan bagi gerakan feminisme untuk
memperjuangkan hak-haknya sebagai warganegara Indonesia. berkaitan dengan
rendahnya keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif yang akhirnya
berdampak pada kebijakan-kebijakan yang merugikan perempuan, maka salah satu
tuntutan kaum feminisme (strategi) yakni untuk meningkatkan keterwakilan
perempuan pada lembaga legislatif melalui tindakan afirmasi untuk mendapatkan
kuota 30 persen. Isu penetapan kuota 30 persen yang kemudian diperjuangkan dan
disosialisasikan oleh gerakan feminisme pada era reformasi. Hal ini sesuai
dengan pendapat miller yang menyatakan bahwa kelompok-kelompok mengajukan
tuntutan agar sistem politik yang demokratis membuka diri menerima kehadiran
dan memberlakukan secara adil dan setara kelompok-kelompok yang terbentuk
karena adanya persamaan etnisitas, agama, gender, atau orientasi seksual dan
meninggalkan prosedur-prosedur, kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek yang
mengabaikan dan menghancurkan mereka[5]. Dengan
demikian, upaya feminisme dalam mewujudkan kebijakan kuota 30 persen merupakan
tuntutan untuk diperlakukan secara adil dan setara sebagai warganegara agar
mendapatkan manfaat yang merupakan bagian dari hak-haknya sebagai warganegara.
Gerakan feminisme dalam
memperjuangkan kuota 30 persen dimulai pada tahun 1998 dengan terbentuknya
koalisi perempuan Indonesia untuk keadilan dan demokrasi. Dalam hal ini,
koalisi perempuan Indonesia untuk keadilan dan demokrasi adalah sebuah koalisi
organisasi perempuan, individu, lembaga non-pemerintah dan aktivis perempuan. sosialisasi
kuota 30 persen dilakukan secara simultan oleh koalisi peremuan Indonesia untuk
keadilan dan demokrasi bersama organisasi-organisasi lainnya seperti Center for Electoral Reform, gerakan
pemberdayaan swara perempuan (GPSP), Pusat pemberdayaan perempuan dalam
politik, kaukus perempuan parlemen dan Aisyiyah. Selain itu, sosialisasi kuoata
30 persen dilakukan dengan mengeluarkan pernyataan bersama, mengadakan
konferensi pers dan aktivitas melakukan kerja sama dengan media untuk meluput
isu kebijakan tindakan afirmasi serta menyelenggarakan pertemuan-pertemuan
perempuan.[6].
Menurut saya terdapat
beberapa hambatan yang dihadapi oleh
gerakan feminisme dalam memperjuangkan kuota 30 persen diantaranya yakni, Pertama kurangnya dukungan dari partai
politik. Hal ini terlihat pada pemilu tahun 1999 dimana sikap dari para elit partai
politik masih menempatkan perempuan sebagai pelengkap atau calon anggota
legislatif pada daftar terbawah. Hal ini membuat calon anggota legislatif
perempuan sulit mendapatkan kesempatan terpilih. Berdasarkan data dari KPU Terbukti
hanya mendapatkan 46 kursi (9%) untuk caleg perempuan yang terpilih pada pemilu
tahun 1999. Kurangnya dukungan dari elit
partai politik merupakan salah satu hambatan yang dihadapi oleh gerakan
feminisme dalam upaya peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif.
Kedua, pemahaman dan interpretasi
agama dan budaya yang masih patriarkis. Pemahaman masyarakat yang masih
memposisikan perempuan berada di ranah privat. Pemikiran-pemikiran masyarakat
yang seperti ini akan sangat membatasi peluang perempuan untuk terlibat atau
berperan aktif di ranah politik. Interpretasi
agama dan budaya patriarkis merupakan hambatan kedua yang dihadapi oleh gerakan
feminisme dalam upaya peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif.
Keadaan ini membenarkan pendapat Miller yang menyatakan politik pengakuan
mendorong kelompok untuk mengafirmasikan identitas mereka yang singular dan
biasanya sulit untuk dapat dipenuhi oleh komunitas politik. Oleh karena itu,
terdapat dua hambatan (elit parpol dan budaya) yang dihadapi oleh gerakan
feminisme dalam upaya peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif.
Keadaan seperti ini justru membuat gerakan feminisme
lebih massif lagi dalam upaya mewujudkan kuota 30 persen tersebut. Hal ini
terlihat dari rencana aksi yang digagas oleh para kaum feminisme sebagai
berikut[7]:
Tabel 1 Rencana Aksi
No
|
Kegiatan
|
Lembaga Pelaksana
|
Waktu
|
1
|
Melobi
parlemen agar menetapkan kuota 30 % bagi kaum perempuan untuk ditempatkan di
posisi-posisi puncak parpol di semua tingkatan (UU Parpol)
|
Kaukus
perempuan di Parlemen, kaukus perempuan di tubuh parpol, dan parpol-parpol
itu sendiri.
|
Mulai
Mei 2002 s/d November 2002
|
2
|
Melobi
parlemen untuk menyusun UU parpol yang mengatur tatacara/mekanisme rekrutmen
kandidat perempuan yang akuntabel dan transparan (UU Parpol)
|
Kaukus
perempuan di Parlemen, kaukus perempuan di dalam parpol dan parpol-parpol itu
sendiri
|
Mei
2002 s/d November 2002
|
3
|
Melobi
legislatif untuk menyusun UU Pemilu yang memberlakukan sistem PR daftar
terbuka pada pemilu 2004 (UU Pemilu)
|
Kaukus
perempuan di Parlemen, kaukus perempuan di dalam parpol dan parpol-parpol itu
sendiri
|
Mei 2002 s/d
November 2002
|
4
|
Melobi
legislatif agar menyusun UU Parpol yang berisi pasal-pasal yang mengatur
sangsi yang tegas terhadap parpol yang tidak melaksanakan kuota perempuan (UU
Parpol)
|
Kaukus
perempuan di Parlemen, kaukus perempuan di dalam parpol dan parpol-parpol itu
sendiri
|
Mei 2002 s/d
Desember 2002
|
5
|
Melobi
legislatif agar membuat UU pemilu yang mengijinkan kandidat independen
menjadi anggota DPD (UU Pemilu)
|
Kaukus
perempuan di Parlemen, Kaukus perempuan di parpol dan partai politik itu sendiri
|
Mei 2002 s/d
Desember 2002
|
Sumber: diambil
dari Buku dengan judul; Politik Perempuan Bukan Gerhana
Perjuangan kaum
feminisme selama bertahun-tahun untuk meningkatkan keterwakilan perempuan melalui
tindakan afirmasi untuk mendapatkan kuota 30 persen akhirnya menghasilkan dengan dicantumkannya
persoalan kuota 30 persen di dalam batang tubuh UU no.12 tentang Pemilu Pasal
65. Sementara itu perjuangan mereka juga menghasilkan UU No. 31 Tahun 2002
tentang partai politik.yang mensyaratkan kesetaraan gender. Secara lengkap ayat
dalam pasal 65 UU Pemilu tersebut berbunyi sebagai berikut[8]:
“
Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD,
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ kota untuk setiap daerah pemilihan dengan
memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen”
Saya
melihat bahwa pencantuman angkat 30 persen dalam undang-undang no. 12 tentang
pemilu tahun 2003 telah membuka kesempatan dan menjamin secara hukum untuk
perempuan ikut aktif dalam kehidupan politik. kebijakan ini saya melihat sangat
efektif (walapun masih ada kekurangannya) dalam meningkatkan keterwakilan
perempuan di lembaga legislatif pada pemilu tahun 2004. Berdasarkan data dari
KPU menunjukkan bahwa adanya kenaikan jumlah perempuan di legislatif mencapai
63 kursi (11,45%) dari sebelumnya 46 kursi (9%) pemilu tahun 1999. Tetapi
pencapaian 11,45% pada pemilu 2004 masih dianggap masih belum tercapai secara
maksimal. Terdapat dua penyebab kegagalan ini diantaranya[9], Pertama posisi perempuan calon anggota
legislatif dalam daftar calon anggota legislatif partai politik. Perempuan
ditempatkan dalam daftar calon anggota legislatif pada posisi nomer 5; Kedua,
penempatan perempuan sebagai calon nomer satu dalam daftar calon anggota legislatif
partai politik di daerah yang partainya tidak mempunyai harapan menang. Oleh karena itu, gerakan feminisme terus
berjuang menuntut untuk menyempurnakan kebijakan-kebijakan tersebut.
KESIMPULAN
Salah satu tuntutan dari gerakan feminisme di
Indonesia yakni peningkatan jumlah keterwakilan perempuan pada lembaga legislatif
melalui tindakan afirmasi untuk mendapatkan kuota 30 persen. Tuntutan tersebut
mendapatkan harapan yang besar setelah jatuhnya rezim orde baru akan tetapi
pada pemilu tahun 1999 belum menerapkan kuota 30%. tuntutan kaum feminisme.dengan
penetapan kuota 30% baru dilaksanakan pada pemilu tahun 2004. Perjuangan kaum
feminisme telah menghasilkan uu no.12 tahun 2003 tentang pemilu dan uu no.31
tahun 2002 tentang partai politik. Kedua kebijakan ini telah membuka kesempatan dan menjamin secara
hukum untuk perempuan ikut aktif dalam kehidupan politik, akan tetapi kedua
kebijakan ini masih memiliki kelemahan-kelemahan. Hal ini sesuai dengan
pendapat miller yang menyatakan bahwa kelompok-kelompok mengajukan tuntutan
agar sistem politik yang demokratis membuka diri menerima kehadiran dan
memberlakukan secara adil dan setara kelompok-kelompok yang terbentuk karena
adanya persamaan etnisitas, agama, gender, atau orientasi seksual dan
meninggalkan prosedur-prosedur, kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek yang
mengabaikan dan menghancurkan mereka.
Peran partai politik dan budaya masih belum bisa menerima perempuan untuk
terlibat dalam lembaga legislatif. sikap partai politik yang masih menempatkan
perempuan sebagai pelengkap dan menempatkan pada posisi terbawah salah satunya
disebabkan karena tidak diaturnya sangsi yang tegas dalam undang-undang tentang
partai politik tersebut. Selain itu, pemahaman masyarakat juga masih memposisikan perempuan berada di ranah
privat. Pemikiran-pemikiran masyarakat yang seperti ini akan sangat membatasi
peluang perempuan untuk terlibat atau berperan aktif di ranah politik Dengan
demikian, lemahnya dukungan dari partai politik dan budaya ini merupakan
penghambat dalam peningkatan keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif.
[1]
Tysan R. Wulan,“Pemetaan
Gerakan Perempuan di Indonesia”,”Jurnal
Studi Gender dan Anak”, Volume 3, Nomer
1, (2008) hal 3.
[2]
Nuri Soeseno, Kewarganegaraan: Tafsiran, Tradisi, dan
Isu-Isu Kontemporer, (Depok: Departemen Ilmu Politik FISIP UI, 2010), hal 84.
[3]
Romani Sihite, “Kekerasan
Negara Terhadap Perempuan”, “Jurnal
Krimonologi Indonesia”, Volume 3, Nomer 3, (2003) Hal 38.
[4]
Nur Iman Subono,
“Representasi Politik Perempuan”, “Jurnal
Sosial Demokrasi”, Volume 6, (2009) Hal 4.
[5]
David Miller dalam Buku
Nuri Soeseno, Kewarganegaraan: Tafsiran,
Tradisi dan Isu-isu Kontemporer, (Depok:Departemen Ilmu Politik FISIP UI,
2010), Hal 83.
[6]
Chusnul Mar’iyah, “Ketidaksetaraan
Gender dan Kuota Pemilihan Untuk Keterwakilan Politik: Pengalaman Indonesia dan
Argentina”, “jurnal
Afirmasi: Representasi Politik Perempuan”, Vol.01, (2011) Hal 113.
[7] Ani Widyani, Politik Perempuan Bukan Gerhana,
(Jakarta: Kompas, 2005), hal 156
[8]
http://www.kpu.go.id/dmdocuments/angka_daftarisi.pdf,
diakses pada tanggal 12 Juni 2013.
[9]
Kevin Evans,”Efektivitas
Pola Pencalonan Berdasarkan Gender”. “Jurnal Pengembangan Pemikiran Feminis”, Volume 01, (2011) Hal 98.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar