Kamis, 18 Juli 2013

Gerakan Feminisme Dalam Peningkatan Keterwakilan Politik Pada Lembaga Legislatif di Indonesia



GERAKAN FEMINISME DALAM PENINGKATAN KETERWAKILAN POLITIK PADA LEMBAGA LEGISLATIF DI INDONESIA
Oleh: Dr.H.Suhaeli,M.SI
Gerakan-gerakan dan gagasan feminisme mulai berpengaruh di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia seperti yang dipelopori oleh R.A. Kartini. Perjuangan yang dilakukan oleh R.A. Kartini dengan menuntut adanya emansipasi antara laki-laki dan perempuan.
Pada saat Orde Lama, gerakan perempuan berkembang baik dengan tumbuhnya berbagai organisasi perempuan, misalnya Wanita Marhaen, Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), Kowani dan Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia). gerakan-gerakan ini mempunyai peran yang cukup penting dalam merebut kemerdekaan dan mempunyai relasi yang cukup baik dengan negara. Akan tetapi, organisasi-organisasi perempuan pada masa Orde Baru menjadi organisasi fungsional.. Hal ini semakin menunjukkan bentuknya setelah pada tahun 1974 Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi diresmikan sebagai organisasi istri pegawai negeri sipil dan istri anggota ABRI[1].
Keberadaan perempuan belum diakui dalam perpolitikan secara formal di Indonesia. Hasil penelitian di berbagai negara tentang partisipasi perempuan dalam politik menunjukan bahwa persentase representasi perempuan sangat rendah dalam perpolitikan formal (lembaga perwakilan atau pemerintahan) di berbagai negara, termasuk Indonesia[2]. Berkaitan dengan keterwakilan perempuan pada lembaga legislatif di Indonesia menunjukan bahwa representasi politik perempuan  dari waktu ke waktu sangat rendah. Keberadaan perempuan yang sangat rendah dalam lembaga legislatif menyebabkan banyak aspirasi, kepentingan, kebutuhan perempuan yang diabaikan dan dikorbankan dalam kebijakan-kebijakan dan keputusan sosial, politik atau ekonomi dalam negara. Salah satu kebijakan pemerintah orde baru yang merugikan untuk perempuan adalah pelaksanaan program Keluarga Berencana.[3] Reformasi pada tahun 1998 telah membuat terjadinya perubahan politik yang membawa harapan politik khususnya untuk gerakan feminisme di Indonesia. Tulisan ini akan membahas tentang upaya yang dilakukan kaum feminisme dalam meningkatkan keterwakilan pada lembaga legislatif di Indonesia.
Upaya Kaum Feminisme Pada Era Reformasi Dalam Peningkatan Keterwakilan                di Lembaga Legislatif
Rendahnya jumlah keterwakilan perempuan pada lembaga legislatif membuat kaum feminisme berjuang untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Rendahnya jumlah perempuan dapat dilihat pada tahun 1950–1955 keterwakilan perempuan dalam legislatif mendapat 9 kursi (3,8%) dari 236 kursi anggota legislatif terpilih saat itu. Kemudian jumlah keterwakilan perempuan hasil Pemilu 1955–1960 mencapai 17 kursi (6,3%) dari 272 anggota parlemen terpilih. Pada era Konstituante (1956-1959) peroleh kursi legislatif perempuan mencapai 25 kursi (5,1%) dari 488 kursi anggota Konstituante. Bagitu pun di era Orde Baru, keterwakilan politik perempuan di parlemen pada pemilu pertama Orde Baru (1971–1977) menempatkan perempuan pada 36 kursi parlemen (7,8%), Pemilu tahun 1977 mendapatkan 29 kursi (6,3%), dan Pemilu tahun 1982 mencapai 39 krusi (8,5%) dari 460 anggota DPR terpilih pada tiga periode Pemilu tersebut. Selanjutnya, Pemilu 1987 menempatkan perempuan pada 65 kursi (13%) dari 500 kursi DPR, dan terus mengalami penurunan pada Pemilu 1992-1997, 1997–1999. Oleh karena itu, keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif masih sangat rendah dan selalu mengalami naik-turun jumlah keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif[4]
Jatuhnya rezim orde baru (otoriter) merupakan kesempatan bagi gerakan feminisme untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai warganegara Indonesia. berkaitan dengan rendahnya keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif yang akhirnya berdampak pada kebijakan-kebijakan yang merugikan perempuan, maka salah satu tuntutan kaum feminisme (strategi) yakni untuk meningkatkan keterwakilan perempuan pada lembaga legislatif melalui tindakan afirmasi untuk mendapatkan kuota 30 persen. Isu penetapan kuota 30 persen yang kemudian diperjuangkan dan disosialisasikan oleh gerakan feminisme pada era reformasi. Hal ini sesuai dengan pendapat miller yang menyatakan bahwa kelompok-kelompok mengajukan tuntutan agar sistem politik yang demokratis membuka diri menerima kehadiran dan memberlakukan secara adil dan setara kelompok-kelompok yang terbentuk karena adanya persamaan etnisitas, agama, gender, atau orientasi seksual dan meninggalkan prosedur-prosedur, kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek yang mengabaikan dan menghancurkan mereka[5]. Dengan demikian, upaya feminisme dalam mewujudkan kebijakan kuota 30 persen merupakan tuntutan untuk diperlakukan secara adil dan setara sebagai warganegara agar mendapatkan manfaat yang merupakan bagian dari hak-haknya sebagai warganegara.  
Gerakan feminisme dalam memperjuangkan kuota 30 persen dimulai pada tahun 1998 dengan terbentuknya koalisi perempuan Indonesia untuk keadilan dan demokrasi. Dalam hal ini, koalisi perempuan Indonesia untuk keadilan dan demokrasi adalah sebuah koalisi organisasi perempuan, individu, lembaga non-pemerintah dan aktivis perempuan. sosialisasi kuota 30 persen dilakukan secara simultan oleh koalisi peremuan Indonesia untuk keadilan dan demokrasi bersama organisasi-organisasi lainnya seperti Center for Electoral Reform, gerakan pemberdayaan swara perempuan (GPSP), Pusat pemberdayaan perempuan dalam politik, kaukus perempuan parlemen dan Aisyiyah. Selain itu, sosialisasi kuoata 30 persen dilakukan dengan mengeluarkan pernyataan bersama, mengadakan konferensi pers dan aktivitas melakukan kerja sama dengan media untuk meluput isu kebijakan tindakan afirmasi serta menyelenggarakan pertemuan-pertemuan perempuan.[6].
Menurut saya terdapat beberapa hambatan yang  dihadapi oleh gerakan feminisme dalam memperjuangkan kuota 30 persen diantaranya yakni, Pertama kurangnya dukungan dari partai politik. Hal ini terlihat pada pemilu tahun 1999 dimana sikap dari para elit partai politik masih menempatkan perempuan sebagai pelengkap atau calon anggota legislatif pada daftar terbawah. Hal ini membuat calon anggota legislatif perempuan sulit mendapatkan kesempatan terpilih. Berdasarkan data dari KPU Terbukti hanya mendapatkan 46 kursi (9%) untuk caleg perempuan yang terpilih pada pemilu tahun 1999.  Kurangnya dukungan dari elit partai politik merupakan salah satu hambatan yang dihadapi oleh gerakan feminisme dalam upaya peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Kedua, pemahaman dan interpretasi agama dan budaya yang masih patriarkis. Pemahaman masyarakat yang masih memposisikan perempuan berada di ranah privat. Pemikiran-pemikiran masyarakat yang seperti ini akan sangat membatasi peluang perempuan untuk terlibat atau berperan aktif di ranah politik.  Interpretasi agama dan budaya patriarkis merupakan hambatan kedua yang dihadapi oleh gerakan feminisme dalam upaya peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Keadaan ini membenarkan pendapat Miller yang menyatakan politik pengakuan mendorong kelompok untuk mengafirmasikan identitas mereka yang singular dan biasanya sulit untuk dapat dipenuhi oleh komunitas politik. Oleh karena itu, terdapat dua hambatan (elit parpol dan budaya) yang dihadapi oleh gerakan feminisme dalam upaya peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif.
Keadaan seperti ini justru membuat gerakan feminisme lebih massif lagi dalam upaya mewujudkan kuota 30 persen tersebut. Hal ini terlihat dari rencana aksi yang digagas oleh para kaum feminisme sebagai berikut[7]:
Tabel 1 Rencana Aksi
No
Kegiatan
Lembaga Pelaksana
Waktu
1
Melobi parlemen agar menetapkan kuota 30 % bagi kaum perempuan untuk ditempatkan di posisi-posisi puncak parpol di semua tingkatan (UU Parpol)
Kaukus perempuan di Parlemen, kaukus perempuan di tubuh parpol, dan parpol-parpol itu sendiri.
Mulai Mei 2002 s/d November 2002
2
Melobi parlemen untuk menyusun UU parpol yang mengatur tatacara/mekanisme rekrutmen kandidat perempuan yang akuntabel dan transparan (UU Parpol)
Kaukus perempuan di Parlemen, kaukus perempuan di dalam parpol dan parpol-parpol itu sendiri
Mei 2002 s/d November 2002
3
Melobi legislatif untuk menyusun UU Pemilu yang memberlakukan sistem PR daftar terbuka pada pemilu 2004 (UU Pemilu)
Kaukus perempuan di Parlemen, kaukus perempuan di dalam parpol dan parpol-parpol itu sendiri
Mei 2002 s/d November 2002
4
Melobi legislatif agar menyusun UU Parpol yang berisi pasal-pasal yang mengatur sangsi yang tegas terhadap parpol yang tidak melaksanakan kuota perempuan (UU Parpol)
Kaukus perempuan di Parlemen, kaukus perempuan di dalam parpol dan parpol-parpol itu sendiri
Mei 2002 s/d Desember 2002
5
Melobi legislatif agar membuat UU pemilu yang mengijinkan kandidat independen menjadi anggota DPD (UU Pemilu)
Kaukus perempuan di Parlemen, Kaukus perempuan di parpol dan partai politik itu sendiri
Mei 2002 s/d Desember 2002
Sumber: diambil dari Buku dengan judul; Politik Perempuan Bukan Gerhana
Perjuangan kaum feminisme selama bertahun-tahun untuk meningkatkan keterwakilan perempuan melalui tindakan afirmasi untuk mendapatkan kuota 30 persen  akhirnya menghasilkan dengan dicantumkannya persoalan kuota 30 persen di dalam batang tubuh UU no.12 tentang Pemilu Pasal 65. Sementara itu perjuangan mereka juga menghasilkan UU No. 31 Tahun 2002 tentang partai politik.yang mensyaratkan kesetaraan gender. Secara lengkap ayat dalam pasal 65 UU Pemilu tersebut berbunyi sebagai berikut[8]:
“ Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD, Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen”
Saya melihat bahwa pencantuman angkat 30 persen dalam undang-undang no. 12 tentang pemilu tahun 2003 telah membuka kesempatan dan menjamin secara hukum untuk perempuan ikut aktif dalam kehidupan politik. kebijakan ini saya melihat sangat efektif (walapun masih ada kekurangannya) dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif pada pemilu tahun 2004. Berdasarkan data dari KPU menunjukkan bahwa adanya kenaikan jumlah perempuan di legislatif mencapai 63 kursi (11,45%) dari sebelumnya 46 kursi (9%) pemilu tahun 1999. Tetapi pencapaian 11,45% pada pemilu 2004 masih dianggap masih belum tercapai secara maksimal. Terdapat dua penyebab kegagalan ini diantaranya[9], Pertama posisi perempuan calon anggota legislatif dalam daftar calon anggota legislatif partai politik. Perempuan ditempatkan dalam daftar calon anggota legislatif pada posisi nomer 5; Kedua, penempatan perempuan sebagai calon nomer satu dalam daftar calon anggota legislatif partai politik di daerah yang partainya tidak mempunyai harapan menang.  Oleh karena itu, gerakan feminisme terus berjuang menuntut untuk menyempurnakan kebijakan-kebijakan tersebut.
KESIMPULAN
Salah satu tuntutan dari gerakan feminisme di Indonesia yakni peningkatan jumlah keterwakilan perempuan pada lembaga legislatif melalui tindakan afirmasi untuk mendapatkan kuota 30 persen. Tuntutan tersebut mendapatkan harapan yang besar setelah jatuhnya rezim orde baru akan tetapi pada pemilu tahun 1999 belum menerapkan kuota 30%. tuntutan kaum feminisme.dengan penetapan kuota 30% baru dilaksanakan pada pemilu tahun 2004. Perjuangan kaum feminisme telah menghasilkan uu no.12 tahun 2003 tentang pemilu dan uu no.31 tahun 2002 tentang partai politik. Kedua kebijakan ini  telah membuka kesempatan dan menjamin secara hukum untuk perempuan ikut aktif dalam kehidupan politik, akan tetapi kedua kebijakan ini masih memiliki kelemahan-kelemahan. Hal ini sesuai dengan pendapat miller yang menyatakan bahwa kelompok-kelompok mengajukan tuntutan agar sistem politik yang demokratis membuka diri menerima kehadiran dan memberlakukan secara adil dan setara kelompok-kelompok yang terbentuk karena adanya persamaan etnisitas, agama, gender, atau orientasi seksual dan meninggalkan prosedur-prosedur, kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek yang mengabaikan dan menghancurkan mereka.
Peran partai politik dan budaya  masih belum bisa menerima perempuan untuk terlibat dalam lembaga legislatif. sikap partai politik yang masih menempatkan perempuan sebagai pelengkap dan menempatkan pada posisi terbawah salah satunya disebabkan karena tidak diaturnya sangsi yang tegas dalam undang-undang tentang partai politik tersebut. Selain itu, pemahaman masyarakat juga  masih memposisikan perempuan berada di ranah privat. Pemikiran-pemikiran masyarakat yang seperti ini akan sangat membatasi peluang perempuan untuk terlibat atau berperan aktif di ranah politik Dengan demikian, lemahnya dukungan dari partai politik dan budaya ini merupakan penghambat dalam peningkatan keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif.


[1] Tysan R. Wulan,“Pemetaan Gerakan Perempuan di Indonesia”,”Jurnal Studi Gender dan Anak”, Volume 3,   Nomer 1, (2008) hal 3.
[2] Nuri Soeseno, Kewarganegaraan: Tafsiran, Tradisi, dan Isu-Isu Kontemporer, (Depok: Departemen Ilmu  Politik FISIP UI, 2010), hal 84.
[3] Romani Sihite, “Kekerasan Negara Terhadap Perempuan”, “Jurnal Krimonologi Indonesia”, Volume 3, Nomer 3, (2003) Hal 38.
[4] Nur Iman Subono, “Representasi Politik Perempuan”, “Jurnal Sosial Demokrasi”, Volume 6, (2009) Hal 4.
[5] David Miller dalam Buku Nuri Soeseno, Kewarganegaraan: Tafsiran, Tradisi dan Isu-isu Kontemporer, (Depok:Departemen Ilmu Politik FISIP UI, 2010), Hal 83.
[6] Chusnul Mar’iyah, “Ketidaksetaraan Gender dan Kuota Pemilihan Untuk Keterwakilan Politik: Pengalaman Indonesia dan Argentina,  jurnal Afirmasi: Representasi Politik Perempuan”, Vol.01, (2011) Hal 113.
[7] Ani Widyani, Politik Perempuan Bukan Gerhana, (Jakarta: Kompas, 2005), hal 156
[8] http://www.kpu.go.id/dmdocuments/angka_daftarisi.pdf, diakses pada tanggal 12 Juni 2013.
[9] Kevin Evans,”Efektivitas Pola Pencalonan Berdasarkan Gender”. “Jurnal Pengembangan Pemikiran Feminis”, Volume 01, (2011) Hal 98.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar